Jumat, 11 November 2011

Suku Anak Dalam, Yang Kini Tidak Lagi Hidup Terasing

Suku Anak Dalam, Yang Kini Tidak Lagi Hidup Terasing

Reporter : Tingka Adiati
    Cameraman : Rudi Asmoro indosiar.com, Jambi - Suku Anak Dalam, yang juga dikenal sebagai Suku Kubu atau orang Rimba, adalah salah satu komunitas adat terpencil di Provinsi Jambi. Mereka tinggal secara berpindah-pindah di hutan pedalaman, jauh dari hiruk pikuknya kota. Begitu terpencilnya, sehingga alat transportasi pun sulit menjangkau lokasi tempat mereka tinggal.
    Hingga kini, tidak diketahui secara pasti asal muasal eksistensi mereka. Konon, nenek moyang Suku Anak Dalam adalah pelarian dari Kerajaan Pagaruyung di Sumatra Barat, dan kerajaan Sriwijaya di Sumatra Selatan. Mereka menolak ikut dalam pertempuran, pada masa peperangan antar kerajaan dulu. Sehingga mereka lari ke hutan di pedalaman. Kebiasaan hidup di rimba belantara tersebut, akhirnya berlanjut hingga kini.
    Cara hidup Suku Anak Dalam masih amat terbelakang, menurut ukuran manusia biasa. Baik lelaki maupun perempuan hanya mengenakan cawat dari kain, sebagai penutup tubuh bagian bawah. Bagian tubuh lainnya tampak telah kebal dari cuaca, dan ganasnya rimba belantara.
    Untuk bertahan hidup, mereka hanya menggantungkan diri dari hasil hutan. Seperti bercocok tanam dengan cara berpindah-pindah, menangkap ikan, ataupun berburu.
    Rumah tempat mereka tinggal yang biasa disebut sudung, hanya terdiri dari atap rumbia, dengan lantai anak kayu. Tanpa dinding. Di sudung inilah mereka berkumpul bersama keluarga, bahkan dengan hewan-hewan piaraan pula. Namun keberadaan Suku Anak Dalam kini mulai terancam. Hutan belantara yang selama ini mereka huni, mulai terkikis.
    Penebangan kayu secara ilegal, dan pembukaan lahan secara besar-besaran, guna perkebunan kelapa sawit dan permukiman, pada kenyataannya memang membuat Suku Anak Dalam kian terdesak. Situasi dan kondisi seperti ini, berpotensi menimbulkan berbagai konflik sosial.
    Segmen 2
    Lantunan adzan mengalun dari seorang remaja warga Suku Anak Dalam. Salah satu komunitas adat terpencil di Jambi. Baru lima tahun belakangan ini, segelintir warganya mengenal agama, setelah sebelumnya menganut paham animisme dinamisme.
    Selama lima tahun terakhir, sebagian kecil warga Suku Anak Dalam mulai berubah. Atas prakarsa para relawan dari Kopsat, anggota komunitas adat terpencil ini mulai bersentuhan dengan kehidupan biasa.
    Sentuhan peradaban pada diri Suku Anak Dalam, antara lain terlihat dari pakaian yang mulai digunakan sebagian kecil warganya. Walaupun seadanya dan seringkali dipakai hanya pada saat mereka bertemu orang luar. Kepada Suku Anak Dalam ini diberikan pengertian, agama mengajarkan manusia untuk menutup aurat.
    Mereka juga diberi pengertian, pakaian memberi perlindungan pada tubuh, dari cuaca maupun hewan dan tumbuhan. Mereka pun mulai mengenal mandi yang sesungguhnya, yaitu setiap hari, dengan menggunakan sabun.
    Perubahan nyata lainnya terlihat pada sudung, rumah mereka tinggal. Sebagai pengganti rumbia, mereka menggunakan plastik untuk atap. Sekalipun demikian, rumah mereka masih tak berdinding. Mereka yang membuat rumah semacam ini, masih menolak dimukimkan di luar hutan, dan tinggal di rumah. Sekalipun bersedia bersentuhan dengan dunia luar, mereka tetap memilih hidup di sudung, di dalam hutan.
    Tapi sebagian dari Suku Anak Dalam ini juga, ada yang memilih hidup di luar hutan, dan tinggal di permukiman. Sekalipun amat sederhana, rumah yang mereka diami jauh lebih layak daripada sudung. Di sinilah kini mereka melewatkan kehidupan sehari-hari. Masyarakat Suku Anak Dalam yang telah bersentuhan dengan dunia luar ini, mulai menjalani hidup sebagaimana masyarakat biasa. Mereka mulai mengenal nasi, yang dimasak dengan kayu bakar.
    Perlahan, mereka pun mulai diajarkan berladang. Walaupun berburu hewan belum sepenuhnya ditinggalkan, tapi bisa dibilang masyarakat Suku Anak Dalam sedikit demi sedikit tidak lagi mengandalkan hidup pada hasil hutan. Konsep pendidikan formal juga mulai diperkenalkan. Anak-anak Suku Anak Dalam sebagian belajar di sekolah negeri. Jika jalan menuju sekolah banjir, mereka tetap berusaha belajar seadanya bersama para relawan dari Kopsat.
    Memberdayakan Suku Anak Dalam, sungguh bukan pekerjaan yang mudah. Bagaimana tidak. Mereka sebelumnya adalah manusia yang hidup dari alam. Boleh dikata, mereka hidup sekedar untuk bertahan hidup. Mereka tidak mengenal pakaian, rumah, apalagi sekolah. Tiba-tiba mereka diberi pilihan, untuk hidup sebagaimana layaknya saudara-saudara mereka, di bagian lain tanah air ini.

    Pada dasarnya, masyarakat Suku Anak Dalam memiliki karakter yang amat tidak acuh dan tertutup. Sikap ini menyebabkan pendekatan kepada mereka menjadi sulit. Terkadang, mereka serta merta menolak.
    Mengingat sulitnya pendekatan, setelah lima tahun upaya pemberdayaan Suku Anak Dalam, hasil yang dicapai, harus diakui belum maksimal. Dari sekitar empat ribu kepala keluarga, atau sekitar 17 ribu jiwa Suku Anak Dalam, yang tersebar di beberapa kabupaten di Jambi, baru sekitar 50 kepala keluarga yang telah bermukim secara tetap.
    Walaupun demikian, bukan berarti upaya ini tidak memiliki arti. Bagaimanapun, Suku Anak Dalam adalah bagian dari bangsa ini. Mereka adalah manusia biasa, yang memiliki hak untuk dimanusiakan.(Idh)

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar