Jumat, 11 November 2011

Suku Anak Dalam Yang Semakin Terpinggirkan

Suku Anak Dalam Yang Semakin Terpinggirkan


"Tidak mungkin manusia bisa merubah ataupun merobohkan pohon-pohon yang besar disini. Bagaimana caranya mereka bisa merobohkan pohon-pohon yang besar dan menghabiskan hutan yang selebat ini". Itulah yang diucapkan oleh Temenggung Nggrip sekitar dua puluh tahun yang lalu kepada kelompoknya disaat mendengar kabar dari masyarakat luar bahwa hutan mereka akan dijadikan areal transmigrasi dan perkebunan skala besar. Temenggung yakin klo hutan mereka yang teramat luas ini tidak akan pernah habis. Pohon-pohon yang besar, tajuk pohon yang rindang dan tinggi serta banyaknya hewan buruan yang bisa dimakan tidak akan hilang.
Tetapi. Kenyataannya benar-benar diluar dugaan Pak Temenggung disaat satu tahun berikutnya kembali lagi ke lokasi yang sama. Tidak ada lagi hutan yang lebat nan rindang. Tidak ada lagi tajuk-tajuk pohon yang berdiri dengan sombong. Semua sudah hancur. Semua sudah tumbang. Suara mesin Chainsaw tak ada henti-hentinya menjerit. Alat berat mondar-mandir memindahkan log ukuran besar kedalam truck logging dan diangkut keluar lokasi penebangan.
Itulah sekilas cerita Pak Temenggung kepadaku tentang awal mulanya hutan mereka perlahan-lahan mulai hilang. Dimana, saat itu mereka belum tahu klo ada Chainsaw yang bisa menumbangkan semua jenis pohon yang sebesar apapun itu. Disaat belum tahu klo ada Buldozer dan mesin kepiting yang mampu mengangkut kayu gelondongan tanpa henti dan tak mengenal lelah.
"Kami semua menangis dan sangat terpukul disaat menyaksikan hutan-hutan kami yang dibabat habis" ungkap Pak Temenggung disaat aku masih terharu dan bengong mendengar cerita-cerita beliau.
Mendengar cerita dan pengalaman dari Pak Temenggung membuatku merinding sekaligus terharu plus sedih. Aku bisa membayangkan mereka yang masih lugu dan tidak pernah mendapatkan berbagai informasi dari luar, dibodohi, ditindas dan dianggap manusia dari planet lain yang tidak layak untuk dipikirkan nasibnya.
Manusia-manusia pintar yang dari kota, berduit dan punya jabatan dengan tenangnya membabat hutan-hutan mereka. Menindas kehidupan mereka. Memandang jijik anak-anak rimba. Aku terkadang ngga habis pikir, kenapa mereka diperlakukan seperti itu. Apa salah Suku Anak Dalam??
Perkebunan Sawit Skala Besar Membuat Mereka Lapar

Hampir seperti di daerah-daerah lainnya di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Konversi lahan dan hutan menjadi tanaman kelapa sawit dalam skala besar sekarang ini memang sedang menjadi tren. Tidak peduli apakah itu menguntungkan bagi masyarakat lokal atau tidak. Mengganggu serta merusak tatanan ekologi kawasan disekitarnya, yang penting perkebunan kelapa sawit skala besar dan mimpi untuk menjadi produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia harus terwujud. Serakah memang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar