Jumat, 11 November 2011

Belajar dari Kearifan Suku Anak Dalam


Belajar dari Kearifan Suku Anak Dalam


Oleh: Joko. HP

(Peneliti Lokal Tim IRE Daerah Musi Rawas Sumatera Selatan)


            Di Kabupaten Musi Rawas setidaknya ada sekitar 4700 jiwa Suku Anak Dalam (SAD). Mereka bermukim secara nomaden dan tersebar di beberapa wilayah, seperti Desa Sungai Kijang Kecamatan. Rawas Ulu, Desa Bumi Agung dan Desa Ketuan III Kec. Muara Beliti, Desa Sukorejo Kec. BKL. Ulu Terawas serta masih tersebar di pelbagai tempat lainnya. Masyarakat sering menyebut SAD adalah komunitas lokal yang masih “primitif”. Dikatakan demikian, karena pola hidupnya yang sederhana, tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan berpindah pindah dalam mencari makanan. Mereka juga pergi berkelompok terdiri dari 8-15 orang dalam satu kelompoknya. Komunitas asli ini juga hampir tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Umumnya mereka menempati rumah (baca:gubuk) ukuran 3x4 meter serta dihuni 4-5 orang dalam satu keluarga. Rumah mereka berdinding bambu, atapnya terbuat dari rumbia atau daun kelapa. Sebagian lainnya, yang lebih maju, menggunakan kayu dan seng sebagai atap rumahnya. Makanan favorit mereka adalah tikus dan ular sawah yang ditangkap dari sawah milik penduduk sekitarnya. SAD adalah bagian dari sub etnis dari suku Kubu yang mendiami kawasan hutan Jambi dan Sumatera Selatan.
            Tim IRE Daerah Sumatera Selatan selama 2 hari mengamati kehidupan SAD, tentang kebiasan aktifitas sehari-hari dengan keluarga dan komunitasnya serta bagaimana interaksi sosial mereka dengan komunitas lain di luar SAD. Diantara banyak hal yang diamati, ada yang menarik untuk dicatat, yaitu SAD termasuk salah satu komunitas (asli) lokal yang tahu bagaimana hidup demokratis dan ramah serta akrab terhadap lingkungan di mana mereka tinggal. Demokratis dalam pengertian, SAD selalu menghindari konflik dengan komunitasnya sendiri maupun dengan yang lain. Dengan pola fikir dan kehidupan yang sangat sederhana, mereka punya kemampuan menjaga harmonisasi dalam interaksi antar individu dengan mengedepankan kepentingan orang lain dibanding kepentingan sendiri. Dengan tradisi konvensional inilah, di Musi Rawas maupun di pelbagai tempat yang di huni komunitas SAD, hampir tidak ditemukan konflik antar komunitas maupun antara SAD dengan suku lainnya dalam satu wilayah 
            Hampir sebagian besar warga adat yang lebih berbudaya di Musi Rawas, pada umumnya memandang sebelah mata keberadaan SAD. Warga lain menghindar untuk bergaul dengan komunitas SAD, mungkin disebabkan oleh (maaf) aromanya yang “prengus,” karena menu makanan yang dikosumsi “sangat spesial” dan pakaiannya yang sangat sederhana, Namun demikian, komunitas SAD tak merasa disingkirkan bahkan kadangkala mereka bersedia membantu orang sakit, melalui penyembuhan tradisional. Dengan demikian, kita bisa belajar banyak tentang berbagai hal pada SAD. Setidaknya bagaimana kearifan SAD bersikap terhadap sumber daya alam di sekelilingnya. Dalam berburu atau mencari ikan di sepanjang sungai Musi dan Kelingi atau anak sungai lainnya, misalnya, mereka mengandalkan kemampuannya menyelam, menggunakan tombak atau menggunakan bubu, sejenis alat tangkap ikan di sungai yang terbuat dari bambu.(trick of bamboo). SAD tidak menggunakan potas (racun) yang dapat mematikan biota dan spesies sungai dalam menangkap ikan maupun berburu binatang. “Dengan cara berburu yang demikian,“ kata Rodah salah satu pimpinan komunitas SAD, “kita tidak akan kehabisan dan membahayakan ikan di sungai serta binatang buruan.” SAD tahu betul bagaimana prinsip accountability and sustainability dalam memanfaatkan sumber alam. Menangkap ikan dengan racun justru sering dilakukan oleh komunitas yang lebih beradab di Lubuklinggau maupun di beberapa tempat di Musi Rawas.
            Bagi sebagian besar SAD yang masih tinggal di dalam hutan di sepanjang Sungai Musi dan Lakitan, hutan dan sungai dianggap sebagai soko guru.kehidupan komunitasnya yang perlu dijaga dan dilestarikan untuk membuat tempat tinggal (rumah) atau untuk kepentingan lainnya. SAD tidak sembarangan menebang pohon. Selain memilih pohon yang pantas dimanfaatkan untuk membuat rumah, cara memotong pohon dilakukan secara adat, yaitu sejenis upacara adat yang disebut Pancung Alas. Bagi komunitas lain yang memotong pohon di hutan tanpa melakukan ritual adat pancung alas, mereka akan dikenakan denda dengan menanam pohon sejenis sebanyak 100 batang. Pancung Alas dimaksudkan agar hutan tetap terjaga keberadaannya dan pemanfaatannya diketahui oleh penduduk setempat.
            Jika dibandingkan, antara SAD dan  komunitas adat lainnya yang hidup dalam satu teritori dengan SAD di Musi Rawas, maka komunitas yang kedua ini relatif telah mengenyam pendidikan formal. Karena itulah dua kelompok ini sangat berbeda. Komunitas adat kedua ini relatif mengenal pelbagai barang elektronik yang lazim dikosumsi penduduk perkotaan, semisal, tv, radio, tape recoder dan VCD. Namun demikian, justru warga adat yang telah tersentuh modernitas itu cenderung berlaku tidak bersahabat dengan keberadaan sumber daya alam. Ironisnya, sebagaian warga adat bersedia dibayar oknum tertentu untuk mengeksploitasi sumber hutan untuk mengeruk keuntungan dan tujuan sesaat. Prilaku yang demikian, telah menyebabkan kerusakan sumber alam yang mengakibatkan banjir, kebakaran hutan serta kerusakan lainnya.
            Baru-baru ini, sedikitnya 40 kepala keluarga (KK) Suku Anak Dalam (SAD) yang tinggal di Desa Sungai Kijang Kecamatan dan Desa Ketuan III Kecamatan Muara Beliti membutuhkan bantuan dari Pemkab Musi Rawas untuk memperbaiki rumah mereka yang rusak. Soalnya, rumah yang dihuni sekarang ini sangat memprihatinkan. Selain dinding papannya yang telah lapuk, lantainya juga dari tanah, sehingga rawan terjangkit penyakit.
            Kepala Desa Sungai Kijang menyebutkan, bangunan rumah dengan penghuni SAD, yang dibangun tahun 1980 itu, beratapkan seng yang sudah berlubang lubang. Jika hujan lebat, warga SAD akan terganggu dan tak nyaman karena rumahnya banjir dan becek. Alhasil, sebagian warga SAD menemui Kepala Desa Sungai Kijang agar usulan mereka untuk memperbaiki rumah dikabulkan oleh Pemerintah Kabupaten Musi Rawas.
            Usulan warga SAD telah disampaikan melalui Camat dan Kepala Dinas Sosial sejak tahun 2003. Namun demikian, terkait rencana perbaikan rumah warga SAD, Dinas Kesejahteraan Sosial belum memberikan jawaban. Demikian diungkapkan A. Rodi HW, Kades Sungai Kijang.
            Seiring otonomi daerah yang telah berjalan sejak 1999, yang dikuti meningkatnya anggaran keuangan daerah yang dikelola secara otonom oleh pemerintah daerah, sampai kini, pemerintah kabupaten Musi Rawas dan anggota DPRD yang lama atau yang baru, tampaknya belum sungguh sungguh menangani problem atas keberadaan Suku Anak Dalam yang tinggal di Kabupaten Musi Rawas. Mereka adalah bagian bangsa Indonesia yang menunggu empati dan kearifan para pimpinan lokal di pemerintahan, agar SAD dapat hidup bermartabat dan sejajar dengan komunitas adat lainnya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar