Rabu, 30 November 2011

Tinjauan Sejarah dan Geografis Orang Rimba
 
Menurut hasil penelitian LSM Warsi pada tahun 1999, jumlah jiwa Orang Rimba di Jambi sendiri ada 2.670 jiwa. Orang Rimba hidup tersebar di 3 wilayah yang relatif berbeda kondisinya. Mereka berada di daerah bagian barat Propinsi Jambi ( sekitar jalan lintas timur Sumatra), Cagar Biosfer Bukit 12 (semenjak bulan September 2000, berubah menjadi Taman Nasional Bukit 12), dan di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh (berada di perbatasan antara Riau – Jambi). Namun dapat dikatakan pula secara garis besar mereka berada di wilayah yang mempunyai hutan hujan dataran rendah. Memang dibandingkan dua daerah lainnya, yaitu sekitar jalan lintas timur Sumatra dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Bukit 12 dapat dikatakan sebagai pusat “kebudayaan” Orang Rimba. Tidak kurang ada 1046 jiwa yang berdiam di Bukit 12. Selebihnya 1.524 jiwa atau 60 % hidup di sekitar Bukit 30 dan kebun-kebun karet serta sawit transmigrasi sekitar jalan lintas timur Sumatra, Padang – Lampung.
Menurut beberapa kajian etnografi sebelumnya diungkapkan sejarah lisan tentang asal mulanya Orang Rimba. Ada beberapa versi cerita antara lain yaitu yang menyatakan bahwa Orang Rimba adalah tentara suruhan raja Pagaruyung, Minangkabau untuk membantu raja Jambi. Ditengah jalan, mereka kehabisan bekal sehingga memutuskan untuk tinggal diperjalanan yaitu daerah hutan dataran rendah di antara daerah Jambi dan Sumatra Barat. Versi yang lain adalah seorang pemuda bernama Bujang Perantauan yang menemukan buah gelumpang. Setelah mendapat mimpi, buah tersebut berubah menjadi putri yang cantik. Akhirnya setelah dinikahinya, ia mendapatkan 4 orang anak yang berpasangan (2 perempuan & 2 laki-laki). Sepasang anaknya berjanji untuk tinggal di dalam hutan dan menjadi Orang Rimba, dan yang sepasang lainnya menjadi orang terang atau orang yang tinggal di luar hutan.
Dalam melihat dunia ini, Orang Rimba membuat dikotomi antara dirinya disatu sisi dengan Orang Melayu di sisi yang lain. Orang Melayu diartikan sebagai orang yang tinggal didesa dan beragama Islam. Dan mereka mereferensikan semua orang di luar mereka adalah Orang Melayu. Juga sebutan bahwa Orang melayu adalah orang terang, atau orang yang selalu hidup ditempat terbuka. Untuk kemudian terminologi orang terang ini lebih banyak digunakan untuk mengacu kepada orang luar yang bukan Orang Melayu (orang Jawa, Batak dll). Secara kontras Orang Rimba beranggapan bahwa mereka adalah orang yang tinggal di hutan dan beragama sesuai dengan agama nenek moyang mereka. Berkaitan dengan Orang Melayu, mereka mengenal konsep dasar layu. Layu diassosiasikan dengan binatang natong-layu atau landak, yaitu binatang yang berbahaya, serba tidak pasti datangnya, dan menakjubkan. Binatang ini bagi Orang Rimba dianggap menakjubkan karena sifatnya yang serba tiba-tiba datangnya dan membuat tumbuhan yang dilewatinya mati atau layu. Sandbukt melihat ada kesamaan konotasi antara natong layu dan orang Melayu. Orang Melayu, bisa dilihat dari Me-Layu, yang artinya orang yang membawa kerusakan dan bencana. Ini dibuktikan dengan bentuk-bentuk pantangan bagi orang luar yang diassosiasikan sebagai orang Melayu dan beragama Islam.
Sebenarnya Orang Rimba merupakan ujung tombak perdagangan pada masa jayanya kesultanan Melayu Jambi, ketika jalur perdagangan di Selat Malaka ramai beberapa abad yang lalu. Mereka hidup dihulu sungai-sungai kecil yang merupakan induk S. Batang Hari di Jambi dan S. Musi di Palembang. Ketika itu merekalah yang mencari sumber daya tradisional (jenang, rotan, damar, gaharu, & balam) untuk diperjualbelikan di pasar Selat Malaka demi kesultanan Melayu Jambi. Sebenarnya mereka merupakan bagian dari suatu sistem yang terintegrasi dengan struktur birokrasi kesultanan Melayu Jambi pada waktu itu. Orang Rimba dianggap sebagai “budak” kesultanan Melayu yang dipercayakan kepada jenang untuk mengawasinya (baik yang bersifat adat & ekonomi). Jenang dipilih dari Orang Melayu setempat yang dianggap punya kekuatan politis. Apabila mereka ada permasalahan baik dengan mereka sendiri ataupun dengan orang luar akan diselesaikan oleh jenang. Kemudian dengan melemahnya kesultanan Jambi pada masa penjajahan Belanda dan kemerdekaan, membuat para jenang mempunyai hak milik sepenuhnya bagi para Orang Rimbanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar