Rabu, 30 November 2011

Kearifan Suku Anak Dalam

Kearifan Suku Anak Dalam

Suku Anak Dalam terbuka menyikapi perubahan. Dalam beberapa aspek, mereka punya pandangan yang jauh lebih maju daripada kebanyakan orang yang mengaku modern.
Utami Diah Kusumawati

utamidk@jurnas.com

Michel Foucault dalam bukunya The Order of Things an Archaeology of Human Sciences, mengatakan manusia modern seperti kita sekarang ini kemungkinan

merupakan keturunan manusia pemburu dan peramu (atau disebut cro magnon) yang sehari-harinya mengumpulkan buah-buahan, akar-akaran, serta berburu hewan liar.

Di Indonesia, manusia pemburu dan peramu masih dapat ditemui di sepanjang aliran sungai provinsi Jambi. Mereka adalah Suku Anak Dalam yang merupakan salah satu komunitas masyarakat asli yang hidup di Jambi.

Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah masyarakat yang tinggal di pedalaman hutan terutama di pulau Sumatera. Umumnya, mereka menempati areal hutan atau daerah sepanjang bantaran sungai. Di Jambi, suku Anak Dalam dapat ditemui di kawasan Taman Nasional Bukit 12 atau areal bantaran Sungai Beruang di kabupaten Muarajambi dan Batanghari.

Menurut hikayat (Muchlas, 1975) muasal suku Anak Dalam berasal dari penuturan lisan yakni cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), cerita Orang Kayu Hitam, cerita Seri Sumatera Tengah, cerita Perang Jambi dengan Belanda dan lainnya. Menurut jambitourism.com, dari riwayat Perang Jambi dengan Belanda dikatakan suku anak dalam merupakan keturunan pasukan perang Jambi yang terdesak untuk bertahan ke tengah hutan. Keturunan mereka lantas menamakan dirinya suku Anak Dalam.

Menurut kepala suku adat Dusun Beruang, Roni (45), ketika ditemui di gedung KOMNAS HAM Jakarta saat melakukan pengaduan pelanggaran HAM terhadap salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit skala besar, tradisi hidup yang biasa dilakukan oleh suku anak dalam dusun Sungai Beruang meliputi mencari nafkah di hutan dengan berburu dan meramu.

Kegiatan berburu menjadi aspek penting dilakukan karena dengan itulah masyarakat Suku Anak Dalam mampu bertahan hidup. Umumnya mereka mencari rotan, damar, buah jerenang (sejenis buah untuk pewarna pakaian), getah jelutung untuk karet pohon, getah balam merah untuk karet sampai berburu binatang. Hasil pencarian dan perburuan tersebut sebagian besar akan dijual oleh masyarakat Suku Anak Dalam untuk memenuhi kebutuhan harian mereka dan sisanya dikonsumsi keluarga. Biasanya kegiatan berburu ini dilakukan di hutan sekitar tempat tinggal mereka.

“Dalam keseharian, suku Anak Dalam biasanya melakukan cocok tanam seperti ubi-ubian. Mereka juga menjual rotan, karet, serta jerenang kepada masyarakat luar rimba. Dari hasil penjualan itu, mereka membeli bahan kebutuhan pokok seperti gula, kopi, atau garam," jelas Nunik, yang sempat bekerja untuk Komunitas Konservasi Indonesia WARSI dan menetap bersama anak suku dalam Taman Nasional Bukit 12 pada tahun 2004-2007.

Adanya pertukaran barang antara masyarakat luar rimba dengan suku Anak Dalam membuktikan adanya keterbukaan dari suku Anak Dalam terhadap dunia luar. Nunik mengatakan, beberapa suku Anak Dalam bahkan menetap di luar rimba dan menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat Melayu atau transmigran di sana. Beberapa juga telah mengenal teknologi (telepon genggam), pendidikan (sekolah), dan alat transportasi (motor) yang memberikan jalan bagi mereka untuk belajar banyak hal baru. Meski demikian, Nunik mengatakan masih tetap ada culture shock yang dialami oleh masyarakat suku dalam. Hal itu disebabkan oleh ketidakterbiasaan mereka berhadapan dengan hal-hal tersebut.

“Pernah suatu waktu, ada salah satu warga suku dalam yang memiliki motor. Ia ingin sekali membawa ke daerahnya. Sayangnya tak bisa mengendarai. Alhasil, terjadi kejadian lucu. Sepanjang perjalanan si warga memanggul motor," katanya.

Sementara itu, mengenai pendidikan, ia mengatakan warga suku Anak Dalam yang enggan menyekolahkan anaknya, biasanya bermuara karena persoalan jauhnya sekolah. Hal itu menyebabkan sang orangtua tidak bisa mengajarkan pengetahuan lokal mereka berupa adat istiadat serta kemampuan bertahan hidup dengan berladang dan berburu di hutan secara maksimal.

Sekarang, banyak yang menyiasatinya dengan metode jemput bola, yakni pengajar datang langsung ke lokasi dan mendidik anak suku dalam untuk bisa menjadi pengajar bagi masyarakatnya.

“Pengetahuan lokal mereka menurut saya spesial. Yang paling menarik adalah pendidikan tentang seks serta pembelajaran tentang proses persalinan,"katanya.

Meski sering dianggap primitif serta terbelakang bagi masyarakat luar rimba, warga suku Anak Dalam justru sangat terbuka dalam membicarakan persoalan pendidikan seksualitas. Seks menjadi sesuatu hal yang biasa untuk dibicarakan di sana, bukan hal yang tabu.

Misalnya saja, ketika seorang pengantin lelaki bercerita tentang pengalaman malam pertamanya, ia melakukan tanpa malu-malu. Sementara di sampingnya, kata Nunik, ada beberapa anak kecil yang juga mendengarkan. Hal ini menjadi unik ketika mengetahui fakta tak ada kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh warga suku Anak Dalam di luar keterbukaan mereka terhadap seksualitas.

“Mereka pernah mengatakan kepada saya, semua persoalan seksualitas itu berasal dari pikiran. Kalau pikirannya jahat, bahkan terhadap saya yang saat itu memakai baju tertutup, perkosaan bisa saja terjadi. Tetapi kalau mampu mengendalikan pikiran, bertelanjang dada saja akan biasa-biasa saja," ujar Nunik.
Sementara itu, mengenai proses persalinan, warga suku Anak Dalam, biasanya menyuruh anak-anak mereka untuk melihat langsung proses persalinan dan perjuangan sang ibu dalam menyampaikan sang bayi selamat sampai ke dunia. Dengan metode seperti itu, kata Nunik, anak-anak suku itu bisa lebih berempati terhadap perempuan serta menghormati kaum ibu melalui proses persalinan secara alamiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar