Rabu, 30 November 2011

[Kisah Anda] Priyo Tumbang oleh Malaria

Teks dan Foto oleh Ruli Amrullah
Tik. Tombol komputer saya tekan. Ketika secangkir kopi tubruk saya aduk sambil menunggu komputer siap dioperasikan, telepon genggam yang saya gantung di lantai bawah berdering. Teman saya Agung berbicara di seberang sana. “Sudah dikabari oleh Koko?” ia bertanya. Belum. “Priyo meninggal!” serunya. “Inalillahi wa innalillahirojiun!”
Priyo Uji Sukmawan, seorang teman yang bekerja pada Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Jambi, telah dipanggil Sang Ilahi. Lelaki berusia 25 tahun tersebut telah memandu saya, Agung, dan beberapa teman lainnya ketika kami mengunjungi Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Jambi. Ia meninggal karena malaria.
Modem internet saya aktifkan, profil Facebook milik almarhum Priyo saya buka. Mata saya tertuju ke foto profilnya yang sedang menatap lautan luas. Teringatlah bahwa saya masih punya utang foto kepadanya. Salah satu potretnya yang sedang mengajarkan baca, tulis, dan berhitung kepada anak-anak Orang Rimba saya ikut sertakan dalam beberapa lomba foto bertema pendidikan yang sedang digelar pada bulan itu–salah satunya diadakan oleh NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA. Lalu foto itu saya tandai (tag) ke akun Facebook Priyo untuk membayar utang saya. Ucapan dan doa saya sertakan di keterangan foto itu.
Walau foto itu belum “berjodoh” untuk menang, pengalaman dengan Priyo akan selalu saya kenang. Masih segar di dalam ingatan ketika kami bersama-sama menembus belantara yang mulai disentuh pembalakan liar itu, menanjak serta menuruni perbukitan taman nasional. Sambil berjalan, waktu itu ia menjelaskan banyak hal. Mulai dari pohon-pohon yang dikeramatkan oleh Suku Anak Dalam, arti simbol yang ditorehkan di batang pohon itu, adat dan budaya Suku Anak Dalam, sampai aktivitasnya di tengah hutan Pulau Sumatra yang sekaligus tempatnya sebagai staf pendidikan alias guru bagi bocah-bocah di sana.
Di kala malam, dengan sabarnya Priyo menemani tiga anak; Besiar, Bedingen, dan Beteguh yang masih semangat untuk belajar. Kegiatan mereka hanya diterangi oleh cahaya lilin serta dibantu sinar lampu senter.
Di kelompok Suku Anak Dalam yang saya singgahi ini, cawat–celana khas kaum pria berupa kain panjang yang digulung lalu dililitkan di pinggang dan selangkangan–mulai ditinggalkan. Karena sering berjumpa dengan orang-orang dari luar, juga karena malu, mereka sudah mengenakan baju dan celana seperti yang dipakai di kota-kota. Priyo pun tak perlu memakai cawat untuk beradaptasi serta mendekati mereka. Ia juga menjadi dan-pur (komandan dapur), memasak makanan tim kami. Menu spesial sewaktu kami ada di belantara itu ialah sate dari daging rusa hasil buruan Orang Rimba.
Bagi saya, Priyo adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang telah mempersembahkan nyawanya di medan tempur ini, hutan rimba yang mulai dikepung oleh perkebunan kelapa sawit berskala besar.
Ces! Monitor komputer saya menjadi gelap, padahal bukan waktunya PLN memberikan jatah pemadaman di sini. Di luar, langit pun menangis semakin deras membasahi Bumi Sriwijaya yang sejak beberapa jam sebelumnya dipenuhi awan-awan hitam.

Jalur menanjak, salah satu rute dinas Priyo.

Priyo membantu membagikan bantuan pangan.

Suasana belajar pada malam hari saat ditemani oleh Agung.

Semangat belajar.

Sang guru menerangi muridnya.


memasak makan malam.

Beteguh dan Besiar mengikuti Priyo membersihkan muka.

Jepretan terakhir saya pada Priyo, saat keluar hutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar