Rabu, 30 November 2011

Suku Kubu
 
Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatera, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang. Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya. Suku Kubu di Jambi pada umumnya bermukim di daerah pedesaan dengan pola yang mengelompok.
Pemukiman penduduk suku Kubu

[Kisah Anda] Priyo Tumbang oleh Malaria

Teks dan Foto oleh Ruli Amrullah
Tik. Tombol komputer saya tekan. Ketika secangkir kopi tubruk saya aduk sambil menunggu komputer siap dioperasikan, telepon genggam yang saya gantung di lantai bawah berdering. Teman saya Agung berbicara di seberang sana. “Sudah dikabari oleh Koko?” ia bertanya. Belum. “Priyo meninggal!” serunya. “Inalillahi wa innalillahirojiun!”
Priyo Uji Sukmawan, seorang teman yang bekerja pada Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Jambi, telah dipanggil Sang Ilahi. Lelaki berusia 25 tahun tersebut telah memandu saya, Agung, dan beberapa teman lainnya ketika kami mengunjungi Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Jambi. Ia meninggal karena malaria.
Modem internet saya aktifkan, profil Facebook milik almarhum Priyo saya buka. Mata saya tertuju ke foto profilnya yang sedang menatap lautan luas. Teringatlah bahwa saya masih punya utang foto kepadanya. Salah satu potretnya yang sedang mengajarkan baca, tulis, dan berhitung kepada anak-anak Orang Rimba saya ikut sertakan dalam beberapa lomba foto bertema pendidikan yang sedang digelar pada bulan itu–salah satunya diadakan oleh NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA. Lalu foto itu saya tandai (tag) ke akun Facebook Priyo untuk membayar utang saya. Ucapan dan doa saya sertakan di keterangan foto itu.
Walau foto itu belum “berjodoh” untuk menang, pengalaman dengan Priyo akan selalu saya kenang. Masih segar di dalam ingatan ketika kami bersama-sama menembus belantara yang mulai disentuh pembalakan liar itu, menanjak serta menuruni perbukitan taman nasional. Sambil berjalan, waktu itu ia menjelaskan banyak hal. Mulai dari pohon-pohon yang dikeramatkan oleh Suku Anak Dalam, arti simbol yang ditorehkan di batang pohon itu, adat dan budaya Suku Anak Dalam, sampai aktivitasnya di tengah hutan Pulau Sumatra yang sekaligus tempatnya sebagai staf pendidikan alias guru bagi bocah-bocah di sana.
Di kala malam, dengan sabarnya Priyo menemani tiga anak; Besiar, Bedingen, dan Beteguh yang masih semangat untuk belajar. Kegiatan mereka hanya diterangi oleh cahaya lilin serta dibantu sinar lampu senter.
Di kelompok Suku Anak Dalam yang saya singgahi ini, cawat–celana khas kaum pria berupa kain panjang yang digulung lalu dililitkan di pinggang dan selangkangan–mulai ditinggalkan. Karena sering berjumpa dengan orang-orang dari luar, juga karena malu, mereka sudah mengenakan baju dan celana seperti yang dipakai di kota-kota. Priyo pun tak perlu memakai cawat untuk beradaptasi serta mendekati mereka. Ia juga menjadi dan-pur (komandan dapur), memasak makanan tim kami. Menu spesial sewaktu kami ada di belantara itu ialah sate dari daging rusa hasil buruan Orang Rimba.
Bagi saya, Priyo adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang telah mempersembahkan nyawanya di medan tempur ini, hutan rimba yang mulai dikepung oleh perkebunan kelapa sawit berskala besar.
Ces! Monitor komputer saya menjadi gelap, padahal bukan waktunya PLN memberikan jatah pemadaman di sini. Di luar, langit pun menangis semakin deras membasahi Bumi Sriwijaya yang sejak beberapa jam sebelumnya dipenuhi awan-awan hitam.

Jalur menanjak, salah satu rute dinas Priyo.

Priyo membantu membagikan bantuan pangan.

Suasana belajar pada malam hari saat ditemani oleh Agung.

Semangat belajar.

Sang guru menerangi muridnya.


memasak makan malam.

Beteguh dan Besiar mengikuti Priyo membersihkan muka.

Jepretan terakhir saya pada Priyo, saat keluar hutan.
Yayasan Setara Gelar Konsultasi Publik Sejarah SAD Batin 9
 
Tribun Jambi - Jumat, 19 Agustus 2011 17:13 WIB
|
27072011_SAD.jpg
tribun jambi/jariyanto
Anak-anak dari SAD yang sedang belajar di PAUD
Laporan Wartawan Tribun Jambi, ahyu Jati Kusuma

JAMBI, TRIBUNJAMBI.COM - Yayasan Setara menggelar konsultasi publik dengan tema "Sejarah Asal-Usul Suku Anak Dalam Batin 9 Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam", yang merupakan sebuah laporan penelitian yang ditulis oleh Rian Hidayat di Hotel Golden Harvest, Jumat (19/8/2011) sore.

Dalam kesempatan itu, Rian memaparkan secara singkat hasil tulisannya. Menurutnya, di Jambi, selain orang Rimba, ada juga kelompok masyarakat asli yang menyebut dirinya sebagai orang dalam atau Suku Anak Dalam (SAD) Batin 9.

Menurutnya, SAD Batin 9 belum diketahui oleh banyak kalangan sehingga sering dianggap sebagai orang rimba atau suku kubu. Padahal ada perbedaan antara SAD Batin 9 dengan orang rimba.

Batin 9 mengandung pengertian sebagai sembilan anak sungai (Bulian, Bahar, Jebak, Jangga, pemusiran, Burung Antu, Telisak, Sekamis, Singoan), dimana masing-masing sungai dikuasai oleh sembilan orang bersaudara yang mereka yakini sebagai nenek moyang mereka.(*)

Penulis : wahyu
Editor : fifi


Asal usul Suku Anak Dalam sering juga disebut dengan orang rimba atau Suku Kubu merupakan salah satu suku asli yang ada di Provinsi Jambi. Suku Anak Dalam dalam hidup berpindah-pindah. Dikawasan hutan secara berkelompok dan menyebar di beberapa Kabupaten, seperti di Kabupaten Batang hari, Tebo, Bungo, Sarolangun dan Merangin.
Sejumlah ahli antropolog berpandangan bahwa Suku Anak Dalam termasuk kategori protom Melayu (Melayu Tua) dari beberapa hasil kajian yang dilakukan, menggambarkan bahwa kebudayaan Suku Anak Dalam yang ada di Provinsi Jambi memiliki kesamaan dengan suku melayulainnya, seperti bahasa, kesenian dan nilai-nilai tradisi lainnya . Salah satu contoh adalah bentuk pelaksanaan upacara besale ( upacara pengobatan ) pada masyarakat anak dalam hampir sama dengan bentuk upacara aseik (upacara pengobatan) pada masyarakat Kerinci yang juga tergolong sebagai protom melayu.
Di samping itu ada juga yang beranggapan bahwa Suku Anak Dalam adalah kelompok masyarakat terasing berasal dari kerajaan Pagaruyung. Mereka mengungsi kedalam hutan karena mendapat serangan dan tidak mau dikuasai serta diperintah oleh musuh.
Di dalam hutan mereka membuat pertahanan. Pendapat ini didasari dengan istilah yang digunakan dalam penyebutan Suku Anak Dalam sebagai orangkubu (Kubu bermakna pertahanan).
Suku Anak Dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya diatur dengan aturan, norma dan adat istiadat yang berlaku sesuai dengan budayanya. Dalam lingkungan kehidupannya dikenal istilah kelompok keluarga dan kekerabatan, seperti keluarga kecil dan keluarga besar. Keluarga kecil terdiri dari suami istri dan anak yang belum menikah.
Keluarga besar terdiri dari beberapa keluarga kecil yang berasal dari pihak kerabat istri. Anak laki-laki yang sudah kawin harus bertempat tinggal dilingkungan kerabat istrinya. Mereka merupakan satu kesatuan sosial dan tinggal dalam satu lingkungan pekarangan. Setiap keluarga kecil tinggal dipondok masing-masing secara berdekatan, yaitu sekitar dua atau tiga pondok dalam satu kelompok.
1 Norma Kehidupan
Apa yang bakal terjadi bila manusia hidup atas dasar hukum rimba?. Yang kuat akan memakan yang lemah. Yang besar akan menindas yang kecil. Yang pintar akan menipu yang bodoh. Kehidupan akan segera menjadi neraka. Manusia mungkin akan segera musnah. Nenek moyang orang Minang, nampaknya sejak beribu tahun yang lalu telah memahami bahaya ini bagi hidup dan kehidupannya, apalagi bagi kelangsungan anak dan cucunya. Karena itu mereka telah menciptakan norma-norma kehidupan yang akan menjamin ketertiban-kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bagi mereka sendiri dan anak cucunya sepanjang zaman. Norma-norma itu antara lain berupa aturan-aturan yang sangat esensial bagi kehidupan yang tertib aman dan damai.
Aturan-aturan itu antara lain mengatur hubungan antara wanita dan pria, aturan mengenai harta kekayaan, yang menjadi tumpuan kehidupan manusia, norma-norma tentang tata krama pergaulan dan sistim kekerabatan. Kalau dipelajari dengan seksama, ketentuan adat Minang mengenai hal-hal diatas, agaknya tidak ada seorangpun diantara kita yang tidak kagum dan bangga dengan aturan itu. Kalau kita tahu manfaat dari aturan-aturan itu, agaknya tidak seorangpun diantara kita yang mengingini lenyapnya aturan itu. Namun sayangnya banyak juga diantara kita yang kurang memahami aturan-aturan adat itu sehingga kurang mencintainya. Tak tahu maka tak kenal, tak kenal maka tak cinta. Kebanyakan kita dewasa ini memang sudah banyak yang melupakan norma-norma kehidupan yang terkandung dalam ajaran adat Minang. (Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)

Sidang Suku Anak Dalam Ricuh


indosiar.com, Jambi - Sidang Suku Anak Dalam di Pengadilan Negeri Sarolangun, Jambi Selasa (24/03/09) kemarin, berubah menjadi kacau. Puluhan keluarga terdakwa melempari polisi dengan batu dan kayu, mereka tidak terima karena kasus kerusuhan antar Suku Anak Dalam yang disidangkan tersebut sudah diselesaikan secara hukum adat.
Aksi ini dilakukan keluarga terdakwa Temenggung Jelitai dan Mata Gunung, kesemuanya para Suku Anak Dalam di halaman Pengadilan Negeri Sarolangun.
Mereka tidak terima terdakwa Jelitai dan Mata Gunung ditahan, sebab mereka beranggapan kasus bentrokan dengan kelompok Suku Anak Dalam Batanghari yang menewaskan 3 warga telah diselesaikan secara hukum adat.
Meski dilerai warga Suku Anak Dalam lainnya, istri dan keluarga kedua terdakwa emosi dan mengejar mobil petugas yang membawa kedua terdakwa ke Lapas Bangko. Akibat kericuhan ini agenda pembacaan pledoi oleh kedua terdakwa terpaksa dibatalkan sampai batas waktu yang belum ditentukan. (Nur Rasdi Chaniago/Sup)

4 Senjata adat suku Jambi

Salam Takzim

Sahabat dan pembaca batavusqu yang berbudaya
Provinsi Jambi yang berada pada urutan ke tujuh memiliki keunikan senjata tradisionil, karena di provinsi ini banyak terdapat suku adat, ada suku kerinci, suku kubu, suku anak dalam, suku batin dan suku melayu. Dari suku suku adat yang ada dijambi sudah barang tentu peralatan adatnya berbeda, karenanya suku ini menjadi sorotan istimewa bagi batavusqu.
Keempat senjata masyarakat Jambi itu adalah:
1. Badik Tumbuk Lada
Tumbuk Lada
Senjata adat ini berbentuk menyerupai badik milik masyarakat bugis, namun memiliki gagang yang lurus, hampir juga menyerupai keris hanya tidak bergelombang. Selain untuk berburu senjata ini juga dipergunakan untuk berperang. Proses pembuatannya menyerupai keris atau badik
2. Sumpit
Sumpit suku kubu
 Selain badik tumbuk lada, masyarakat suku jambi juga menggunakan sumpit untuk berburu. Selain suku yang ada di Jambi, sumpit juga digunakan oleh masyarakat suku dayak, papua dan baduy dalam. Untuk mengetahui sumpit lebih dalam silahkan taut ke sini
3. Tombak
Tombak
Senjata adat ini hampir semua masyarakat suku di Indonesia memiliki alat ini, karena senjata ini lebih memudahkan perburuan, tinggal dilempar saja dan ujungnya yang dipasang semacam belati akan memberikan beban dan tombak pasti bergerak lurus. Selain untuk berburu senjata adat ini juga pernah dipakai untuk berperang.
4. Pedang
Pedang
Bentuknya menyerupai mandau dan parang hanya saja pada kedua sisi pisau memiliki ketajaman yang sama dan ujungnya dibuat tajam. Pedang lebih sering digunakan untuk berperang dibanding untuk berburu
Demikian senjata suku Jambi disaji semoga dapat dimaklumi
*
Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan. Mereka mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.
*
Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang m lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.
*
*
Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.
*
Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan.
*
Mayoritas suku kubu menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh keluarga suku kubu yang pindah ke agama Islam.
*
Suku Anak Dalam Terima 1.000 Hektare Sawit
BERITA - ekonomi-indonesia-bisnis.infogue.com - Jambi ( News) - Masyarakat Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi menerima kebun sawit seluas 1.000 hektare dari PT Asiatic Persada, grup perusahaan Wilmar International, yang diharapkan bisa mengangkat kesejahteraan mereka.

Acara serah terima kebun sawit tersebut dilakukan secara simbolis oleh Komisaris Wilmar International, Master Parulian Tumanggor, kepada warga Suku Anak Dalam melalui Koperasi Sanak Mandiri di kantor Kabupaten Batang Hari, Kamis.

Hanya saja, karena belum lengkapnya dokumen yang harus disediakan pihak pemerintah daerah, penandatangan serah terima kebun sawit tersebut ditunda pelaksanaannya.

"Dari pihak kami sudah selesai, tidak ada masalah," kata Tumanggor di sela-sela acara yang juga dihadiri lebih dari 100 warga Suku Anak Dalam, dari 771 kepala keluarga yang terdaftar sebagai penerima manfaat.

Staf ahli gubernur Jambi, Natres Ulfi, berharap dokumen yang kurang bisa segera dilengkapi sehingga pada Juli 2010 masyarakat Suku Anak Dalam sudah bisa menikmati hasil dari kebun sawit yang memang sudah bisa dipanen tersebut.

"Tolong data-data dicek lagi, jangan sampai ada sanak yang belum terdaftar, sehingga nanti tidak timbul persoalan," katanya.

Menurut Tumanggor, jika jumlah penerima manfaat tidak bertambah secara signifikan, maka selama kredit pengelolaan kebun sawit itu belum lunas, kira-kira lima tahun, setiap kepala keluarga akan menerima uang hasil kebun sekitar Rp750 ribu per bulan.

"Itu hanya dari buah, lain lagi kalau mereka juga ikut kerja. Tapi, setelah kredit lunas, pendapatan per kepala keluarga bisa dua kali lipat, bahkan lebih," katanya.

Sani (50), salah seorang warga Suku Anak Dalam, mengaku senang dengan adanya acara serah terima tersebut mengingat janji penyerahan lahan sawit itu sudah lama, ketika PT Asiatic Persada belum menjadi milik grup Wilmar.

"Kalau ada keputusan ini, kami senang," kata bapak tiga anak itu.

Hal senada juga dikemukakan sesepuh Suku Anak Dalam, Alatas, yang berharap dengan adanya kebun sawit itu kesejahteraan warga suku tersebut bisa lebih baik.

(T.S024/Z002/S026)
Sumber: antaranewscom
Tinjauan Sejarah dan Geografis Orang Rimba
 
Menurut hasil penelitian LSM Warsi pada tahun 1999, jumlah jiwa Orang Rimba di Jambi sendiri ada 2.670 jiwa. Orang Rimba hidup tersebar di 3 wilayah yang relatif berbeda kondisinya. Mereka berada di daerah bagian barat Propinsi Jambi ( sekitar jalan lintas timur Sumatra), Cagar Biosfer Bukit 12 (semenjak bulan September 2000, berubah menjadi Taman Nasional Bukit 12), dan di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh (berada di perbatasan antara Riau – Jambi). Namun dapat dikatakan pula secara garis besar mereka berada di wilayah yang mempunyai hutan hujan dataran rendah. Memang dibandingkan dua daerah lainnya, yaitu sekitar jalan lintas timur Sumatra dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Bukit 12 dapat dikatakan sebagai pusat “kebudayaan” Orang Rimba. Tidak kurang ada 1046 jiwa yang berdiam di Bukit 12. Selebihnya 1.524 jiwa atau 60 % hidup di sekitar Bukit 30 dan kebun-kebun karet serta sawit transmigrasi sekitar jalan lintas timur Sumatra, Padang – Lampung.
Menurut beberapa kajian etnografi sebelumnya diungkapkan sejarah lisan tentang asal mulanya Orang Rimba. Ada beberapa versi cerita antara lain yaitu yang menyatakan bahwa Orang Rimba adalah tentara suruhan raja Pagaruyung, Minangkabau untuk membantu raja Jambi. Ditengah jalan, mereka kehabisan bekal sehingga memutuskan untuk tinggal diperjalanan yaitu daerah hutan dataran rendah di antara daerah Jambi dan Sumatra Barat. Versi yang lain adalah seorang pemuda bernama Bujang Perantauan yang menemukan buah gelumpang. Setelah mendapat mimpi, buah tersebut berubah menjadi putri yang cantik. Akhirnya setelah dinikahinya, ia mendapatkan 4 orang anak yang berpasangan (2 perempuan & 2 laki-laki). Sepasang anaknya berjanji untuk tinggal di dalam hutan dan menjadi Orang Rimba, dan yang sepasang lainnya menjadi orang terang atau orang yang tinggal di luar hutan.
Dalam melihat dunia ini, Orang Rimba membuat dikotomi antara dirinya disatu sisi dengan Orang Melayu di sisi yang lain. Orang Melayu diartikan sebagai orang yang tinggal didesa dan beragama Islam. Dan mereka mereferensikan semua orang di luar mereka adalah Orang Melayu. Juga sebutan bahwa Orang melayu adalah orang terang, atau orang yang selalu hidup ditempat terbuka. Untuk kemudian terminologi orang terang ini lebih banyak digunakan untuk mengacu kepada orang luar yang bukan Orang Melayu (orang Jawa, Batak dll). Secara kontras Orang Rimba beranggapan bahwa mereka adalah orang yang tinggal di hutan dan beragama sesuai dengan agama nenek moyang mereka. Berkaitan dengan Orang Melayu, mereka mengenal konsep dasar layu. Layu diassosiasikan dengan binatang natong-layu atau landak, yaitu binatang yang berbahaya, serba tidak pasti datangnya, dan menakjubkan. Binatang ini bagi Orang Rimba dianggap menakjubkan karena sifatnya yang serba tiba-tiba datangnya dan membuat tumbuhan yang dilewatinya mati atau layu. Sandbukt melihat ada kesamaan konotasi antara natong layu dan orang Melayu. Orang Melayu, bisa dilihat dari Me-Layu, yang artinya orang yang membawa kerusakan dan bencana. Ini dibuktikan dengan bentuk-bentuk pantangan bagi orang luar yang diassosiasikan sebagai orang Melayu dan beragama Islam.
Sebenarnya Orang Rimba merupakan ujung tombak perdagangan pada masa jayanya kesultanan Melayu Jambi, ketika jalur perdagangan di Selat Malaka ramai beberapa abad yang lalu. Mereka hidup dihulu sungai-sungai kecil yang merupakan induk S. Batang Hari di Jambi dan S. Musi di Palembang. Ketika itu merekalah yang mencari sumber daya tradisional (jenang, rotan, damar, gaharu, & balam) untuk diperjualbelikan di pasar Selat Malaka demi kesultanan Melayu Jambi. Sebenarnya mereka merupakan bagian dari suatu sistem yang terintegrasi dengan struktur birokrasi kesultanan Melayu Jambi pada waktu itu. Orang Rimba dianggap sebagai “budak” kesultanan Melayu yang dipercayakan kepada jenang untuk mengawasinya (baik yang bersifat adat & ekonomi). Jenang dipilih dari Orang Melayu setempat yang dianggap punya kekuatan politis. Apabila mereka ada permasalahan baik dengan mereka sendiri ataupun dengan orang luar akan diselesaikan oleh jenang. Kemudian dengan melemahnya kesultanan Jambi pada masa penjajahan Belanda dan kemerdekaan, membuat para jenang mempunyai hak milik sepenuhnya bagi para Orang Rimbanya.
Kain dan maknanya

Fungsi kain atau koin disini dapat dilihat dalam 2 makna fungsi. Antara lain adalah makna secara fungsional-praktikal dan maknanya secara kultural sosial. Makna kain secara fungsional-praktikal, dapat diartikan sebagai makna kain secara fungsional, yaitu untuk melindungi tubuh kita dari situasi kondisi cuaca dan bahkan bahaya yang ada diluar kita. Sedangkan makna kain secara kultural sosial, adalah pemaknaan kain bagi Orang Rimba bagi kepentingan kelangsungan adat budaya mereka. Seperti bride-price atau mas kawin dan denda adat serta status sosial seseorang.
Seperti telah kita ketahui bersama bahwa kain dalam kehidupan kita sehari-hari adalah berfungsi sebagai bahan dasar untuk membuat baju yang berguna bagi tubuh kita sebagai bahan pelindung. Demkian pula yang terjadi dalam pemakaian kain oleh Orang Rimba. Biasanya kain yang dipilih oleh Orang Rimba adalah kain batik dan kain belacu warna putih. Secara fungsional kain bagi Orang Rimba mempunyai manfaat sebagai penutup organ vital manusia, yaitu alat kelamin. Bagi laki-laki, kain berfungsi sebagai kancut atau cawat yang menutupi alat kelamin mereka. Mereka hanya melilitkan kain dari samping kemudian kebelakang (pantat) dan ke depan. Bagi wanita kain juga mempunyai fungsi yang sama, yaitu untuk menutupi alat kelamin mereka. Pemakaian kain sebagai alat pelindung tubuh oleh Orang Rimba bagi orang luar dapat dikatakan minim. Karena hanya menutupi sebatas alat kelamin saja, tidak menutupi seluruh bagian tubuh, layaknya baju yang biasa kita kenakan. Ini berkaitan dengan kondisi lingkungan hidup dan tingkat mobilitas gerak mereka yang tinggi. Dengan kondisi hutan yang berhawa sejuk dan terlindung dari panas karena lebatnya dedaunan pohon, pemakaian kain atau baju yang minim adalah penggunaan yang sesuai. Mereka tidak perlu menutupi seluruh tubuh dengan baju & celana karena mereka merasa alam sudah dapat melindungi mereka. Demikian juga dengan tingkat mobilitas gerak mereka yang tinggi, dengan pakaian yang lengkap (baju & celana) akan mengganggu gerak dan membebani mereka. Tetapi kini seiring perubahan zaman, sudah banyak dari mereka yang mengenakan pakaian dan celana. Kadang pula mereka hanya mengenakan pakaian kalau mereka pergi ke desa atau pasar untuk keperluan tertentu, namun ketika kembali di hutan, mereka akan melepas kembali pakaian dan celana tersebut untuk kemudian berganti dengan kancut. Pemakaian kancut ini kadang menjadi simbol jati diri kesukuan mereka dengan orang terang. Berkancut bagi mereka (para lelaki) menjadi bagian usaha untuk tetap menjaga adat nenek moyang mereka.

Souvenir Tradisional Khas Suku Anak Dalam Jambi

Diposting oleh Directory Ads

Souvenir Tradisional Khas Suku Anak Dalam Jambi CV Al Ardvici Kreatif Shop Centra Kerajinan TanganTradisional khas buatan suku anak dalam jambi, unik, antik, eksotik dan alami. Produk terbuat dari rotan, rumbai, dll. Menerima pesanan plakat khas SAD, ganc
Contact No. : 0852-66580942
Address : Jambi

Souvenir Tradisional Khas Suku Anak Dalam Jambi
CV Al Ardvici

Kreatif Shop
Centra Kerajinan TanganTradisional khas buatan suku anak dalam jambi, unik, antik, eksotik dan alami.
Produk terbuat dari rotan, rumbai, dll.
Menerima pesanan plakat khas SAD, ganci, cinderamata, hiasan property, souvenir pernikahan, dll

Contact Person
Evi Marlina : 0852-66580942  / 0852-66367648 / 0856-89232256
Alamat         : jl.Karyamaju No.13 Samping kantor kelurahan Simp. IV sipin Telanaipura Jambi
Email           : imaexist@yahoo.com
Website        : sukuanakdalamkreatif.wordpress.com 

Peluang dari Kerajinan Suku Anak Dalam

Dengan beberapa inovasi, kerajinan Suku Anak Dalam Jambi tampil lebih unik dan menarik.
Saat duduk di semester VII FKIP Universitas Jambi pada 2009, Evi Marlina berdiskusi bersama beberapa teman kuliahnya tentang hal-hal unik di Jambi. Diskusi yang awalnya sekadar iseng itu berubah menjadi serius saat mereka melakukan survei kepada Suku Anak Dalam di Dusun Senami, Kabupaten Batanghari, sekitar 60 kilometer dari kota Jambi. "Kami ingin melihat hal unik apa yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari," kata Evi Marlina.
Dari hasil survei itu, Evi yang menyelesaikan kuliah Mei 2011 lalu, menemukan beberapa benda hasil produksi Suku Anak Dalam. DI antaranya ambung yang terbuat dari rotan untuk membawa berbagai jenis barang. Selain itu ada pula udang-udangan yang juga terbuat dari rotan dan biasa digunakan sebagai mainan anak-anak. Masyarakat Suku Anak Dalam pun membuat tikar dari rumbai dan menganyam rotan menjadi bunga.
Ide kreatif perempuan kelahiran Jambi Ini pun muncul. Ia kemudian memodifikasi beberapa temuannya ini sehingga layak jual sebagai souvenir khas Jambi. Ambung yangbiasanya berukuran besar diubahnya menjadi lebih kecil. Beberapa bahkan dibuat seukuran gelas dan kemudian dimasukkan dalam kaca. Tak lupa pada kaca ini diselipkan kertas bertuliskan asal-usul ambung. "Yang kita tuliskan adalah, ambung itu apa dan biasa digunakan Suku Anak Dalam untuk apa," ujarnya.
Tak hanya itu, perempuan yang memilih berbisnis setelah lulus kuliah ini juga memodifikasi udang-udangan menjadi gantungan kunci. Selain itu dikembangkan, mengombinasikannya dengan ambung. "Produk ini kemudian kami jadikan plakat dan djiual pada panitia seminar atau ke lembaga-lemaga pemerintah di Jambi untuk souvenir berbagai acara,"kata Evi.
Anyaman rotan berbentuk bunga juga tak luput dari sentuhan kreatif
Evi. Ia mengajarkan kepada warga Suku Anak Dalam membuat bunga dengan desain lebih menarik Di antaranya berbentuk bunga melati dan bunga telipuk (lili air). Total ada 15 produk kerajinan modifikasi yang dihasilkan Evi Marlina melalui Suku Anak Dalam. "Sebenarnya ada puluhan jenis produk, tetapi produksinya masih terbatas," kata pemenang Penghargaan
Wirausahawan Terinovatif Wirausaha Muda Mandiri 2010 ini.
Agar produk dengan label SAD Rengke-rengke (menarik-unlk) ini dikenal konsumen, Evimemasarkannya melalui beberapa jalur. Di antaranya menjualnya secara door to door dengan mendatangi dinas atau instansi pemerintah dan swasta di Jambi. Evi pun rajin mengikuti berbagai pameran, termasuk beberapa pameran yang diselenggarakan Bank Mandiri.
Ia juga bekerjasama dengan media lokal Jambi Ekspres untukmempromosikan produk Ini. Layaknya anak muda masa kini yang terjun berbisnis, Evi memanfaatkan media online melalui beberapa website jual beli, blog dan facebook. Rata-rata setiap bulan Evi meraih omset sebesar Rp 6 juta sampai Bp 7 juta. "Lumayanlah, produk ini sudah mulai banyak dikenal, terutama untuk pasar di Jambi. Saya optimis pemasarannya akan meningkat dalam beberapa waktu mendatang," ungkapnya.
Nilai lebih dari usaha yang digeluti Evi adalah kemampuannya dalam mengangkat masyarakat Suku Anak Dalam menjadi perajin cenderamata unik. Ia melakukan pelatihan bagi masyarakat terasing di Jambi itu, hingga bisa memproduksi cenderamata yang indah dan menarik. "Saat ini terdapat 11 orang warga Suku Anak Dalam yang fokus mengerjakan kerajinan ini," ujarnya

Karya Suku Anak Dalam Tak Malu-malu Lagi

Karya Suku Anak Dalam Tak Malu-malu Lagi

Kerajinan anyaman rotan buatan Suku Anak Dalam mulai dipasarkan keluar Jambi. Rajin mengisi berbagai pameran dan mulai merambah jalur pemasaran online. 
 
VHRmedia, Jakarta – Sekarang tidak perlu ke pedalaman Jambi untuk mendapatkan kerajinan tradisional khas Suku Anak Dalam. Kerajinan berbahan rotan buatan masyarakat adat Provinsi Jambi ini mulai dipasarkan melalui internet.

Usaha ini dirintis Evi Marlina, pengusaha kerajinan berdarah Jambi. Menurut dia, kerajinan tangan buatan warga Suku Anak Dalam kurang promosi, baik di Jambi maupun daerah lain di Indonesia.

Kerajinan berbahan baku rotan dan rumbai ini biasanya hanya dijual di rumah-rumah warga Suku Anak Dalam. ”Mereka hanya menunggu pembeli datang. Padahal, rumah mereka masuk hutan. Paling laku satu atau dua minggu sekali,” kata Evi Marlina pada Expo Wirausaha Mandiri di Jakarta Convention Centre, Kamis (20/1).

Evi mengajak para perajin bermitra usaha. Setidaknya kini berhasil mengajak 9 perajin bekerja sama. ”Tadinya saya targetkan 30 perajin, tapi karena pendekatan cukup sulit, 9 saja dulu,” ujarnya.

Motif kerajinan Suku Anak Dalam yang semula sederhana, kini dikembangkan sesuai permintaan pasar. Tidak hanya tikar dan bakul, perajin mulai membuat pernak-pernik suvenir khas Jambi seperti bunga melati hutan, bunga keladi hutan, bunga telipuk, dan gantungan kunci. ”Kami poles lagi dengan ide-ide kreatif, dikemas, lalu dipasarkan,” kata Evi.

Menurut Evi saat ini sudah ada 60 modifikasi kerajinan. Setiap bulan perajin mampu membuat ratusan produk. Kerajinan tersebut dijual di kampus-kampus di Jambi dan melalui internet.
Evi mengaku memulai usahanya dengan modal Rp 5 juta. Sekarang dia mampu meraup untung hingga belasan juta dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat adat Suku Anak Dalam. Dia berharap kerajinan Suku Anak Dalam terus berkembang dan menjadi ciri khas Provinsi Jambi. (E1)
Foto: VHRmedia/Ema Arifah

Cara berpakaian Suku Anak Dalam

Cara berpakaiannya pun kini bervariasi, yaitu:
(1) Bagi yang tinggal di hutan dan berpindah-pindah pakaiannya sederhana sekali, yaitu cukup menutupi bagian tertentu saja.
(2) Yang tinggal di hutan tetap menetap, di samping berpakaian sesuai dengan tradisinya, juga terkadang menggunakan pakaian seperti masyarakat umum seperti baju, sarung atau celana.
(3) Yang tinggal berdekatan dengan pemukiman masyarakat luar atau desa, berpakaian seperti masyarakat desa lainnya. Namun kebiasaannya tidak menggunakan baju masih sering ditemukan dalam wilayah pemukimannya.
Asal usul Suku Anak Dalam sering juga disebut dengan orang rimba atau Suku Kubu merupakan salah satu suku asli yang ada di Provinsi Jambi. Suku Anak Dalam dalam hidup berpindah-pindah. Dikawasan hutan secara berkelompok dan menyebar di beberapa Kabupaten, seperti di Kabupaten Batang hari, Tebo, Bungo, Sarolangun dan Merangin.
Sejumlah ahli antropolog berpandangan bahwa Suku Anak Dalam termasuk kategori protom Melayu (Melayu Tua) dari beberapa hasil kajian yang dilakukan, menggambarkan bahwa kebudayaan Suku Anak Dalam yang ada di Provinsi Jambi memiliki kesamaan dengan suku melayu lainnya, seperti bahasa, kesenian dan nilai-nilai tradisi lainnya. Salah satu contoh adalah bentuk pelaksanaan upacara besale ( upacara pengobatan ) pada masyarakat anak dalam hampir sama dengan bentuk upacara aseik (upacara pengobatan) pada masyarakat Kerinci yang juga tergolong sebagai protom melayu.
01Di samping itu ada juga yang beranggapan bahwa Suku Anak Dalam adalah kelompok masyarakat terasing berasal dari kerajaan Pagaruyung. Mereka mengungsi kedalam hutan karena mendapat serangan dan tidak mau dikuasai serta diperintah oleh musuh. Di dalam hutan mereka membuat pertahanan. Pendapat ini didasari dengan istilah yang digunakan dalam penyebutan Suku Anak Dalam sebagai orang kubu (Kubu bermakna pertahanan).
Suku Anak Dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya diatur dengan aturan, norma dan adat istiadat yang berlaku sesuai dengan budayanya. Dalam lingkungan kehidupannya dikenal istilah kelompok keluarga dan kekerabatan, seperti keluarga kecil dan keluarga besar. Keluarga kecil terdiri dari suami istri dan anak yang belum menikah.
Keluarga besar terdiri dari beberapa keluarga kecil yang berasal dari pihak kerabat istri. Anak laki-laki yang sudah kawin harus bertempat tinggal dilingkungan kerabat istrinya. Mereka merupakan satu kesatuan sosial dan tinggal dalam satu lingkungan pekarangan. Setiap keluarga kecil tinggal dipondok masing-masing secara berdekatan, yaitu sekitar dua atau tiga pondok dalam satu kelompok.
Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, mereka memiliki sistem kepemimpinan yang berjenjang, seperti Temenggung, Depati, Mangku, Menti dan Jenang. Temenggung merupakan jabatan tertinggi, keputusan yang ditetapkan harus dipatuhi. Bagi mereka yang melanggar akan dijatuhi hukuman atau sangsi sesuai dengan tingkat kesalahannya.
Peran Temenggung sangat penting karena berfungsi sebagai: (1) Pimpinan tertinggi (sebagai Rajo), (2) Penegak hukum yang memutuskan perkara, (3) Pemimpin upacara ritual, (4) Orang yang memilki kemampuan dan kesaktian. Oleh sebab itu dalam menentukan siapa yang akan menjadi emenggung harus diperhatikan latar belakangnya, seperti keturunan dan kemampuan memimpin dalam menjalankan tugasnya.
Kepercayaan Suku Anak Dalam terhadap Dewa-dewa roh halus yang menguasai hidup tetap terpatri, kendatipun diantara mereka telah mengenal agama islam. Mereka yakini bahwa setiap apa yang diperolehnya, baik dalam bentuk kebaikan, keburukan, keberhasilan maupun dalam bentuk musibah dan kegagalan bersumber dari para dewa. Sebagai wujud penghargaan dan persembahannya kepada para dewa dan roh, mereka melaksanakan upacara ritual sesuai dengan keperluan dan keinginan yang diharapkan. Salah satu bentuk upacara ritual yang sering dilaksanakan adalah Besale (upacara pengobatan).
02Suku Anak Dalam meyakini bahwa penyakit yang diderita sisakit merupakan kemurkaan dari dewa atau roh jahat oleh sebab itu perlu memohon ampunan agar penyakit yang diderita dapat disembuhkan. Properti yang digunakan dalam upacara besale sangat sarat dengan simbol-simbol.
Dari proses adaptasinya dengan lingkungan, Suku Anak Dalam juga memilki pengetahuan tentang bahan pengobatan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Melalui panca indranya mampu membedakan tumbuhan beracun dan tidak beracun termasuk mengolahnya. Pengetahuannya tentang teknologi sangat sederhana, namun memiliki kemampuan mendeteksi masalah cuaca, penyakit dan mencari jejak.

Perkembangan Adat Isiadat Sukiu Anak Dalam

 Perkembangan Adat Isiadat Sukiu Anak Dalam

Lantunan adzan mengalun dari seorang remaja warga Suku Anak Dalam. Salah satu komunitas adat terpencil di Jambi. Baru lima tahun belakangan ini, segelintir warganya mengenal agama, setelah sebelumnya menganut paham animisme dinamisme.
Selama lima tahun terakhir, sebagian kecil warga Suku Anak Dalam mulai berubah. Atas prakarsa para relawan dari Kopsat, anggota komunitas adat terpencil ini mulai bersentuhan dengan kehidupan biasa.
Sentuhan peradaban pada diri Suku Anak Dalam, antara lain terlihat dari pakaian yang mulai digunakan sebagian kecil warganya. Walaupun seadanya dan seringkali dipakai hanya pada saat mereka bertemu orang luar. Kepada Suku Anak Dalam ini diberikan pengertian, agama mengajarkan manusia untuk menutup aurat.
Mereka juga diberi pengertian, pakaian memberi perlindungan pada tubuh, dari cuaca maupun hewan dan tumbuhan. Mereka pun mulai mengenal mandi yang sesungguhnya, yaitu setiap hari, dengan menggunakan sabun.
Perubahan nyata lainnya terlihat pada sudung, rumah mereka tinggal. Sebagai pengganti rumbia, mereka menggunakan plastik untuk atap. Sekalipun demikian, rumah mereka masih tak berdinding. Mereka yang membuat rumah semacam ini, masih menolak dimukimkan di luar hutan, dan tinggal di rumah. Sekalipun bersedia bersentuhan dengan dunia luar, mereka tetap memilih hidup di sudung, di dalam hutan.
Tapi sebagian dari Suku Anak Dalam ini juga, ada yang memilih hidup di luar hutan, dan tinggal di permukiman. Sekalipun amat sederhana, rumah yang mereka diami jauh lebih layak daripada sudung. Di sinilah kini mereka melewatkan kehidupan sehari-hari. Masyarakat Suku Anak Dalam yang telah bersentuhan dengan dunia luar ini, mulai menjalani hidup sebagaimana masyarakat biasa. Mereka mulai mengenal nasi, yang dimasak dengan kayu bakar.
Perlahan, mereka pun mulai diajarkan berladang. Walaupun berburu hewan belum sepenuhnya ditinggalkan, tapi bisa dibilang masyarakat Suku Anak Dalam sedikit demi sedikit tidak lagi mengandalkan hidup pada hasil hutan. Konsep pendidikan formal juga mulai diperkenalkan. Anak-anak Suku Anak Dalam sebagian belajar di sekolah negeri. Jika jalan menuju sekolah banjir, mereka tetap berusaha belajar seadanya bersama para relawan dari Kopsat.
Memberdayakan Suku Anak Dalam, sungguh bukan pekerjaan yang mudah. Bagaimana tidak. Mereka sebelumnya adalah manusia yang hidup dari alam. Boleh dikata, mereka hidup sekedar untuk bertahan hidup. Mereka tidak mengenal pakaian, rumah, apalagi sekolah. Tiba-tiba mereka diberi pilihan, untuk hidup sebagaimana layaknya saudara-saudara mereka, di bagian lain tanah air ini.

Pada dasarnya, masyarakat Suku Anak Dalam memiliki karakter yang amat tidak acuh dan tertutup. Sikap ini menyebabkan pendekatan kepada mereka menjadi sulit. Terkadang, mereka serta merta menolak.
Mengingat sulitnya pendekatan, setelah lima tahun upaya pemberdayaan Suku Anak Dalam, hasil yang dicapai, harus diakui belum maksimal. Dari sekitar empat ribu kepala keluarga, atau sekitar 17 ribu jiwa Suku Anak Dalam, yang tersebar di beberapa kabupaten di Jambi, baru sekitar 50 kepala keluarga yang telah bermukim secara tetap.
Walaupun demikian, bukan berarti upaya ini tidak memiliki arti. Bagaimanapun, Suku Anak Dalam adalah bagian dari bangsa ini. Mereka adalah manusia biasa, yang memiliki hak untuk dimanusiakan.

“PERESMIAN PEMUKIMAN WARGA KOMUNITAS ADAT TERPENCIL”

“PERESMIAN PEMUKIMAN WARGA KOMUNITAS ADAT TERPENCIL”

Oleh : Muh. Rajab*)


Suku Anak Dalam (SAD) meminta agar pemerintah membangun sekolah dan tempat tinggal mereka yang baru. Permintaan ini disampaikan warga suku Kubu yang tinggal menetap di Simpang Inoman Sungai Buluh, desa muara Kilis Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo , Provinsi Jambi.


(Dokumentasi Dit. PKAT)



(Dokumentasi Dit. PKAT)

Husain, Ketua Komunitas Suku Anak Dalam (SAD) menyampaikan keinginan tersebut kepada Sekjen Kementerian Sosial RI Gozali H Situmorang ,dan Bupati Tebo Majid Muaz pada acara Pembukaan Camping Sisial Pemberdayan KAT Regional Barat Indonesia dan Peresmian 50 unit rumah Pemukiman Suku Anak Dalam, Senin (24/5/).


(Dokumentasi Dit. PKAT)

Husain meminta agar Komunitas mereka diperhatiakan pemerintah, diantaranya perhatian dibidang pendidkan anak – anak mereka denagan mendirikan sarana pendidikan/ sekolah. “Anakanak kami perlu pendidkan, kami berharap di kampung kami ini bisa didirikan sekolah sama dengan kampung lainnya” harap Husain.
Tidak hanya soal pendidikan generasi Suku Anak Dalam pun meminta hak mereka selaku warga negara ,diantaranya meminta lahan untuk bertani dan layanan kesehatan gratis. “Laham kami jauh dari pemukiman ini , jadi kami meminta bimbimngan agar kami bisa mendapatkan modal untuk berusaha seperti berladang , membuka lahan, dan beternak” ucap Husain.
Sekjen Kementerian Sosial RI mengatakan, Warga Komunitas Adat Terpencil SAD sudah pintar, dan sudah dapat meminta hal yang sangat baik sesuai kebutuhan dalam pemenuhan kesejahteraan mereka seperti meminta sekolah dan layana kesehatah, ini hal yang perlu tanggapan positif untuk memberdayakan mereka.
Namun mengenai lapangan pekerjaan yang diberikan kepada Warga Suku Anak Dalam ,Sekjen mengatakan akan diberikan sesuai dengan keahlian yang mereka kuasai. “ Kami tidak akan merubah kebiasaan mereka jika mereka ingin membuka lahan kami berikanjika mereka ingin beternak atau keterampilan kerajinan anyam –anyaman kani akan latih,” katanya.


(Dokumentasi Dit. PKAT)


Menyikapi permintaan Suku Anak Dalam ,Bupati Tebo Majid Muaz berjanji segerah mengirim guru dan memampatkan Balai Sosial yang akan dibangun untuk tempat belajar sementara .
Dalam kesempatan itu Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Drs. Rusli Wahid Melaporkan bahwa Lokasi pemberdayaan KAT di Simpang Inoman Sungai Buluh adalah Suku Anak Dalam yang berjumlah 50 KK / 161 jiwa. Ketika studi kelayakan tahun 2007, lokasi ini merupakan lokasi KAT kategori I yang mendiami habitat pedalaman. Pada saat ini, lokasi Simpang Inoman Sungai Buluh memasuki tahap pemberdayaan KAT tahun ke 3 dimana selama 2 tahun sebelumnya telah dilakukan proses pemberdayaan, baik di bidang sumber daya manusia maupun lingkungan. Adapun beberapa kegiatan yang telah dilaksanakan dapat kami laporkan sebagai berikut :
1. Tahun I, 2008 telah dilakukan proses pemberdayaan dengan beberapa rangkaian kegiatan antara lain :
  • Bimbingan sosial
  • Pemberian jaminan hidup
  • Bantuan peraltan kerja dan usaha
  • Bantuan peralatan rumah tangga
  • Bantuan bibit tanaman
2. Tahun II, 2009 telah dilakukan proses pemberdayaan dengan kegiatan antara lain :
  • Bimbingan sosial
  • Pemberian jaminan hidup 
  • Bantuan pembangunan rumah sederhan ukuran 6 x 6
3. Tahun III, 2010 ini akan dilaksanakan beberapa kegiatan, antara lain :
  • Bimbingan sosial
  • Pemberian jaminan hidup
  • Bantuan pembangunan Balai Sosial
  • Bantuan pembangunan Sarana Ibadah
  • Bantuan jalan lingkungan sepanjang 5 km
  • Sertifikasi rumah dan lahan usaha
  • Pembangunan tugu / monumen pemberdayaan KAT
Berdasarkan laporan yang kami terima dari Dinas Sosial Provinsi Jambi, hasil-hasil yang telah dicapai pada lokasi Simpang Inoman Sungai Buluh ini cukup menggembirakan dan kondusif bagi pencapaian tujuan pemberdayaan KAT yaitu menuju masyarakat mandiri dan terlibat aktif dalam pembangunan.
Beberapa perubahan signifikan yang telah dicapai antara lain :
  1. Pada aspek geografis, lokasi Simpang Inoman Sungai Buluh pada awalnya sulit dijangkau karena tidak ada akses jalan seperti saat ini dan kini mudah untuk dilalui secara intensif melalui jalur darat dengan sarana transportasi roda 2 dan roda 4.
  2. Pada aspek adat dan budaya, lokasi Simpang Inoman Sungai Buluh sudah dapat menerima nilai-nilai baru yang dianggap membawa manfaat lebih tanpa harus bertentangan dengan nilai-nilai kearifan lokal setempat.
*) = Staf Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil

Kearifan Suku Anak Dalam

Kearifan Suku Anak Dalam

Suku Anak Dalam terbuka menyikapi perubahan. Dalam beberapa aspek, mereka punya pandangan yang jauh lebih maju daripada kebanyakan orang yang mengaku modern.
Utami Diah Kusumawati

utamidk@jurnas.com

Michel Foucault dalam bukunya The Order of Things an Archaeology of Human Sciences, mengatakan manusia modern seperti kita sekarang ini kemungkinan

merupakan keturunan manusia pemburu dan peramu (atau disebut cro magnon) yang sehari-harinya mengumpulkan buah-buahan, akar-akaran, serta berburu hewan liar.

Di Indonesia, manusia pemburu dan peramu masih dapat ditemui di sepanjang aliran sungai provinsi Jambi. Mereka adalah Suku Anak Dalam yang merupakan salah satu komunitas masyarakat asli yang hidup di Jambi.

Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah masyarakat yang tinggal di pedalaman hutan terutama di pulau Sumatera. Umumnya, mereka menempati areal hutan atau daerah sepanjang bantaran sungai. Di Jambi, suku Anak Dalam dapat ditemui di kawasan Taman Nasional Bukit 12 atau areal bantaran Sungai Beruang di kabupaten Muarajambi dan Batanghari.

Menurut hikayat (Muchlas, 1975) muasal suku Anak Dalam berasal dari penuturan lisan yakni cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), cerita Orang Kayu Hitam, cerita Seri Sumatera Tengah, cerita Perang Jambi dengan Belanda dan lainnya. Menurut jambitourism.com, dari riwayat Perang Jambi dengan Belanda dikatakan suku anak dalam merupakan keturunan pasukan perang Jambi yang terdesak untuk bertahan ke tengah hutan. Keturunan mereka lantas menamakan dirinya suku Anak Dalam.

Menurut kepala suku adat Dusun Beruang, Roni (45), ketika ditemui di gedung KOMNAS HAM Jakarta saat melakukan pengaduan pelanggaran HAM terhadap salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit skala besar, tradisi hidup yang biasa dilakukan oleh suku anak dalam dusun Sungai Beruang meliputi mencari nafkah di hutan dengan berburu dan meramu.

Kegiatan berburu menjadi aspek penting dilakukan karena dengan itulah masyarakat Suku Anak Dalam mampu bertahan hidup. Umumnya mereka mencari rotan, damar, buah jerenang (sejenis buah untuk pewarna pakaian), getah jelutung untuk karet pohon, getah balam merah untuk karet sampai berburu binatang. Hasil pencarian dan perburuan tersebut sebagian besar akan dijual oleh masyarakat Suku Anak Dalam untuk memenuhi kebutuhan harian mereka dan sisanya dikonsumsi keluarga. Biasanya kegiatan berburu ini dilakukan di hutan sekitar tempat tinggal mereka.

“Dalam keseharian, suku Anak Dalam biasanya melakukan cocok tanam seperti ubi-ubian. Mereka juga menjual rotan, karet, serta jerenang kepada masyarakat luar rimba. Dari hasil penjualan itu, mereka membeli bahan kebutuhan pokok seperti gula, kopi, atau garam," jelas Nunik, yang sempat bekerja untuk Komunitas Konservasi Indonesia WARSI dan menetap bersama anak suku dalam Taman Nasional Bukit 12 pada tahun 2004-2007.

Adanya pertukaran barang antara masyarakat luar rimba dengan suku Anak Dalam membuktikan adanya keterbukaan dari suku Anak Dalam terhadap dunia luar. Nunik mengatakan, beberapa suku Anak Dalam bahkan menetap di luar rimba dan menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat Melayu atau transmigran di sana. Beberapa juga telah mengenal teknologi (telepon genggam), pendidikan (sekolah), dan alat transportasi (motor) yang memberikan jalan bagi mereka untuk belajar banyak hal baru. Meski demikian, Nunik mengatakan masih tetap ada culture shock yang dialami oleh masyarakat suku dalam. Hal itu disebabkan oleh ketidakterbiasaan mereka berhadapan dengan hal-hal tersebut.

“Pernah suatu waktu, ada salah satu warga suku dalam yang memiliki motor. Ia ingin sekali membawa ke daerahnya. Sayangnya tak bisa mengendarai. Alhasil, terjadi kejadian lucu. Sepanjang perjalanan si warga memanggul motor," katanya.

Sementara itu, mengenai pendidikan, ia mengatakan warga suku Anak Dalam yang enggan menyekolahkan anaknya, biasanya bermuara karena persoalan jauhnya sekolah. Hal itu menyebabkan sang orangtua tidak bisa mengajarkan pengetahuan lokal mereka berupa adat istiadat serta kemampuan bertahan hidup dengan berladang dan berburu di hutan secara maksimal.

Sekarang, banyak yang menyiasatinya dengan metode jemput bola, yakni pengajar datang langsung ke lokasi dan mendidik anak suku dalam untuk bisa menjadi pengajar bagi masyarakatnya.

“Pengetahuan lokal mereka menurut saya spesial. Yang paling menarik adalah pendidikan tentang seks serta pembelajaran tentang proses persalinan,"katanya.

Meski sering dianggap primitif serta terbelakang bagi masyarakat luar rimba, warga suku Anak Dalam justru sangat terbuka dalam membicarakan persoalan pendidikan seksualitas. Seks menjadi sesuatu hal yang biasa untuk dibicarakan di sana, bukan hal yang tabu.

Misalnya saja, ketika seorang pengantin lelaki bercerita tentang pengalaman malam pertamanya, ia melakukan tanpa malu-malu. Sementara di sampingnya, kata Nunik, ada beberapa anak kecil yang juga mendengarkan. Hal ini menjadi unik ketika mengetahui fakta tak ada kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh warga suku Anak Dalam di luar keterbukaan mereka terhadap seksualitas.

“Mereka pernah mengatakan kepada saya, semua persoalan seksualitas itu berasal dari pikiran. Kalau pikirannya jahat, bahkan terhadap saya yang saat itu memakai baju tertutup, perkosaan bisa saja terjadi. Tetapi kalau mampu mengendalikan pikiran, bertelanjang dada saja akan biasa-biasa saja," ujar Nunik.
Sementara itu, mengenai proses persalinan, warga suku Anak Dalam, biasanya menyuruh anak-anak mereka untuk melihat langsung proses persalinan dan perjuangan sang ibu dalam menyampaikan sang bayi selamat sampai ke dunia. Dengan metode seperti itu, kata Nunik, anak-anak suku itu bisa lebih berempati terhadap perempuan serta menghormati kaum ibu melalui proses persalinan secara alamiah.

Jumat, 11 November 2011

Suku Anak Dalam yang Malang

Suku Anak Dalam yang Malang

Dear Baltyrans di manapun berada sharing tulisanku kali ini tentang Suku Anak Dalam atau populer disebut juga Suku Kubu, tulisan ini terinspirasi saat menonton berita di TV tentang Suku Kubu yang harus keluar dari habitat mereka di kawasan hutan di pedalaman Jambi dan terpaksa memasang tenda plastik di tanah perkebunan sawit milik warga. Untuk makan sehari-hari mereka terpaksa memunguti buah-buah sawit yang jatuh ke tanah, lalu menjual buah sawit tersebut ke tengkulak penadah buah sawit. Hal ini tentu merugikan petani sawit yang lahan sawitnya ditempati oleh beberapa keluarga dari Suku Kubu ini.
Sebenarnya Suku Kubu ini tidak bisa disalahkan, mereka harus keluar dari ‘lingkungan asal’ nya karena hutan di mana mereka tinggal sudah beralih fungsi menjadi bentangan ribuan hektar kebun Kelapa Sawit milik Pengusaha besar maupun kecil, selain itu pembalakan liar terhadap hutan di daerah pedalaman makin mempersempit ruang gerak Suku Kubu ini. Sedang budaya dan pola hidup mereka yang nomaden dan menjadi peladang berpindah sudah dilakukan secara turun temurun.
Sedikit kutipan dari Wikipedia tentang Suku Kubu:
Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatera tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan. Mereka mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.

Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang melarikan diri ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duapuluh. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.
Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.
Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan.*
Seingatku dulu saat masih kuliah di tahun 1988, sudah ada upaya Pemerintah untuk mengkonservasi Suku Kubu ini di kawasan Hutan Lindung di daerah pedalaman Jambi. Mereka diberi bantuan sandang pangan secara berkala, walau tidak besar hal ini rutin dilakukan, sehingga populasi Suku Kubu tetap bisa dipertahankan dan tidak punah dimakan waktu.
Rupanya kebijakan konservasi terhadap Suku Kubu ini tidak berlangsung lama, terbukti kini mereka harus terusir dari rumahnya sendiri, tragis banget, seharusnya Depatemen Sosial melalui Dinas Sosial Propinsi Jambi lebih jeli mengawasi ‘saudara-saudara’ sebangsa dan setanah air yang merupakan “Kekayaan Alam dan Budaya” asli Indonesia mendapat perlakuan yang layak, bukankan UUD 1945 Pasal 33 menjelaskan bahwa Negara menjamin seluruh kesejahteraan rakyat Indonesia dan buat mereka juga diberi jaminan mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan isi pasal 31 UUD 1945.
Tidak bermaksud menuduh pemerintah tidak aware sama kehidupan Suku Kubu ini, mungkin saja alokasi dana ‘konservasi’ Suku Kubu sudah tidak diposting lagi sejak kejatuhan Pak Harto. Semoga berita miris Suku Kubu ini sempat diperhatikan Pak SBY dan para politisi negeri ini, bosan dengan keributan di Pansus Century yang ‘nggak jelas’ juntrungannya. Cobalah lihat yang jauh ke bawah, masih banyak banget wong cilik yang menderita. Boro-boro bisa beli beras yang harganya akhir-akhir ini sedang selangit, bisa makan nasi aking aja sudah syukur.
Kita harus bangga dengan perjuangan seorang anak negeri ini yang bernama Saur Marlina Manurung yang ngetop dikenal dengan nama Butet Manurung, yang telah mengembangkan “Sokola Rimba” (sekolah rimba) pada Suku Kubu yang mendiami Taman Nasional Bukit Duabelas di Jambi. Dia adalah perintis dan pelaku pendidikan alternatif bagi masyarakat terasing dan terpencil di Indonesia. Bahkan Pemerintah sudah berencana mengadopsi system pendidikan ini terhadap masyarakat dengan kondisi khusus.*
Semoga Kisah yang memprihatinkan ini bisa segera di atasi, biar bagaimanapun juga mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia, sama halnya dengan Suku Asmat di Papua, Suku Dayak di Kalimantan, Suku Sasak di Lombok dan Suku Badui di Banten serta suku-suku lainnya yang tidak akan habis kalau dibahas satu persatu.
Keprihatinanku dengan kehidupan Suku Kubu ini, kembali mengingatkan aku pada kisah masa lalu yang pernah dialami oleh Papaku saat harus bertugas di pedalaman Jambi. Kejadian ini terjadi di tahun1976, saat itu Papaku sedang dalam perjalanan antara kabupaten Muara Bungo dan Tebo.
Papaku hanya ditemani oleh seorang supir. Kebetulan supir ini berasal dari Jambi, jadi cukup faham dengan adat dan kebiasaan Suku Kubu. Sebelum melalui daerah yang diperkirakan banyak di huni oleh keluarga Suku Kubu, Pak Supir berpesan pada Papaku “Pak, nanti kalau mobil kita dihadang oleh Suku Kubu, tolong bapak jangan sampai meludah walaupun bapak mencium bau busuk dari tubuh mereka, kalau nanti mereka meminta rokok atau uang sekedarnya tolong diberi.” Begitulah pesan pak supir, arti ‘Kubu’ dalam bahasa daerah setempat adalah ‘Bau’, jadi sama artinya dengan “Suku Bau” kasihan amat ya, makanya pemerintah memberi nama yang agak bagus dengan nama “Suku Anak Dalam”.
Balik lagi ke kisah yang dialami oleh Papaku, berhubung tugas dinas ini hanya berdua dengan pak supir, membuat Papaku mengangguk setuju, yang penting aman di jalan pikir Papaku. Apa yang dikatakan oleh pak supir ternyata terbukti, mobil dinas yang ditumpangi Papaku, dicegat dan diberhentikan di tengah jalan oleh 4 orang dewasa, terdiri dari 2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan.
Mereka hanya memakai cawat sedang yang perempuannya bertelanjang dada dengan rambut panjang awut-awutan saat itu tahun 1976, suku Kubu ini masih berpakaian ala kadarnya, tidak seperti saat ini sudah berpakaian seperti orang kebanyakan. Papaku mencium bau yang tidak enak dari tubuh mereka tetapi tidak meludah atau menutup hidung, ingat kata pak supir kalau sampai melakukan dua hal tersebut bisa membuat mereka marah.
Salah satu dari mereka maju mendekati Papaku, tampaknya ini sang ketua sukunya, dia bicara dengan bahasa Kubu yang kebetulan difahami oleh pak supir yang langsung menterjemahkan kepada Papaku. Kepala suku memberi isyarat ‘seperti orang yang menghisap rokok’ maksudnya dia minta rokok, kebetulan Papaku membawa rokok dan langsung memberikannya. Masih belum selesai si kepala suku masih minta uang buat membeli sedikit garam dan makanan, Papaku memberi uang sekedarnya, mereka menerima pemberian Papaku dengan senang hati.
Tiba-tiba sang ketua suku berbicara agak serius sambil memandang ke Papaku, langsung pak supir mentranslate apa yang diucapkan sang ketua suku, seperti ini ucapannya:
“Istrimu saat ini sedang hamil tua, nanti dia akan mengalami kesulitan saat melahirkan anak kalian, jadi aku ada obat yang bisa membantu meringankan sakitnya”.
Papaku bener-bener terkejut saat mengetahui apa yang dimaksud oleh kepala suku, Subhanallah…. Koq mereka bisa tahu kalau Mamaku saat itu sedang hamil tua dan sudah dekat waktu untuk melahirkan, padahal Papaku nggak pernah ketemu sama orang Kubu ini, tapi mereka bisa tahu keadaan Papaku. Padahal pak supir juga nggak ngomong apa-apa sebelumnya.
Selanjutnya sang ketua suku mengeluarkan ‘sebongkah getah’ kering dari suatu pohon, sorry to say aku lupa apa nama pohonnya, yang kata beliau ‘benda ini keramat’ dan berfungsi sebagai obat penawar rasa sakit di saat Mamaku mengalami kesulitan persalinan kelak, caranya rendam getah kayu kering ini dalam segelas air tawar lalu rendaman air getah kayu ini diminumkan ke si Sakit, selain itu getah kayu tersebut bisa menjadi jimat pelindung bagi anak bayi dari gangguan mahluk halus, caranya dengan meletakkan getah kayu kering tersebut dibawah bantal tidur si bayi.
Begitulah pesan-pesan penting dari sang ketua suku, Papaku mengangguk sambil tersenyum dan menyalami sang ketua suku sambil mengucapkan terimakasih dan menerima jimat getah kayu kering itu, mereka mempersilahkan Papaku dan pak supir melanjutkan kembali perjalanan dinasnya.
Rupanya ramalan sang kepala Suku Kubu terbukti, beberapa minggu kemudian, di saat Mamaku mengalami kesulitan melahirkan ‘adikku yang bungsu’ sempat terjadi ‘Blooding’ (pendarahan) yang sangat mengkhawatirkan, Papaku rupanya ‘lupa’ dengan pesan sang kepala suku.
Mungkin karena Papaku menganggap sepele omongan sang kepala suku, jadi Papaku hanya berdo’a kepada Ilahi Rabb untuk keselamatan Mamaku, begitu juga Mamaku hanya memohon pertolongan dan keselamatan dari-NYA, Mamaku berkisah bahwa beliau sempat mendengar percakapan para suster dan dokter yang sibuk menolong persalinan Mamaku yang mengalami pendarahan hebat, antara sadar dan tidak Mamaku mengikhlaskan dirinya pada Ilahi Rabb, jika memang sudah waktunya harus pergi Mamaku ikhlas kembali kepada-NYA.
Alhamdulillah, ternyata Mamaku masih diberi-NYA kesempatan untuk hidup lebih lama. Kembali ke nasib si getah kayu kering itu, untuk menghormati pemberian dan niat baik dari sang kepala Suku Anak Dalam tersebut, Papaku mengikuti saran yang kedua yaitu meletakkan getah kayu tersebut di bawah bantal tidur adikku yang masih bayi. Riwayat getah kayu kering tersebut, masih membekas sampai saat ini walau sudah berlalu puluhan tahun yang lampau.
Getah kayu kering itu masih disimpan oleh adikku yang bungsu, walau ukurannya sudah jauh menyusut, karena Papa dan Mamaku memotong getah kayu itu untuk dibagi-bagikan kepada keluarga kami yang memiliki anak bayi, hehehe…buat jimat pelindung si bayi saat tidur. Kuakui saat adik bayi ku tidur, hampir tidak pernah dia menangis, saat itu aku masih berusia 7 tahun, jika Mamaku sibuk di dapur, biasanya aku diminta untuk menjaga adik bayiku. Kini adikku sudah menjadi seorang dokter gigi dan Wallahu’alam bissawab dia memiliki bakat cenayang juga, kadang aku suka meledeknya jangan-jangan ini efek sampingan dari jimat getah kayu dari Suku Kubu tersebut, hehehe…. Just kidding!
*Dalam melengkapi data tulisan ini, aku mengambil sebagian informasi dari Wikipedia dan foto-foto dari
panoramio.com

Pemukiman Suku Anak Dalam

Pemukiman Suku Anak Dalam


Pada awalnya untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, Suku Anak Dalam, melaksanakan kegiatan berburu, meramu, menangkap ikan dan memakan buah-buahan yang ada di dalam hutan. Namun dengan perkembangan pengetahuan dan peralatan hidup yang digunakan akibat adanya akulturasi budaya dengan masyarakat luar, kini telah mengenal pengetahuan pertanian dan perkebunan.
Berburu binatang seperti Babi, Kera, Beruang, Monyet, Ular, Labi-labi, Rusa, Kijang dan berbagai jenis unggas, merupakan salah satu bentuk mata pencaharian mereka. Kegiatan berburu dilaksanakan secara bersama-sama dengan membawa anjing. Alat yang digunakan adalah Tombak dan Parang. Di samping itu untuk mendapatkan binatang buruan juga menggunakan sistem perangkap dan jerat.
Jenis mata pencaharian lain yang dilakukan adalah meramu didalam hutan, yaitu mengambil buah-buahan dedaunan dan akar-akaran sebagai bahan makanan. Lokasi tempat meramu sangat menentukan jenis yang diperoleh. Jika meramu dihutan lebat, biasanya mendapatkan buah-buahan, seperti cempedak, durian, arang paro, dan buah-buahan lainnya. Di daerah semak belukar dipinggir sungai dan lembah mereka mengumpulkan pakis, rebung, gadung, enau, dan rumbia.
Mencari rotan, mengambil madu, menangkap ikan adalah bentuk mata pencaharian lainnya. Kini mereka juga telah mengenal pertanian dan perkebunan dengan mengolah ladang dan karet sebagai mata pencahariannya.
Semua bentuk dan jenis peralatan yang digunakan dalam mendukung dalam proses pemenuhan kebutuhan hidup nya sangat sederhana sekali.
Bangunan tempat tinggalnya berupa pondok yang terbuat dari kayu dengan atap jerami atau sejenisnya . Konstruksi bangunannya dengan sistem ikat dari bahan rotan dan sejenisnya. Bangunannya berbentuk panggung dengan tinggi 1,5 meter, dibagian bawahnya dijadikan sebagai lumbung (bilik) yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi. Ukuran bangunan sekitar 4 x 5 meter atau sesuai dengan kebutuhan keluarga. Disamping bangunan tempat tinggal, dalam satu lingkungan keluarga besar terdapat pondok tanpa atap sebagai tempat duduk-duduk dan menerima tamu.
Kini terdapat tiga kategori kelompok pemukiman Suku Anak Dalam. Pertama yang bermukim didalam hutan dan hidup berpindah-pindah. Kedua kelompok yang hidup didalam hutan dan menetap. Ketiga adalah kelompok yang pemukimnya bergandengan dengan pemukiman orang luar ( orang kebiasaan )

Pangeran Charles Temui Suku Terasing di Jambi

Pangeran Charles Temui Suku Terasing di Jambi



JAMBI – Putra mahkota Kerajaan Inggris Pangeran Charles meninjau Hutan Restorasi Ekosistem Indonesia di Desa Bungku, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Di lokasi ini sang Pangeran menanam pohon kayu bulian.
Selain itu, mantan suami Lady Diana ini juga mengunjungi pemukiman Suku Anak Dalam dan Suku Bathin Sembilan.
Dalam kunjungan kali ini Pangeran Charles didampingi Menteri Kehutananan  MS Kaban.
Kepada Pangeran Charles, Menteri Kaban menerangkan bahwa kawasan hutan restorasi itu memiliki luas 101.000 hektare dan akan dijadikan model pengelolaan restorasi di Indonesia.
Dalam kunjungannya ke Indonesia, selain meninjau kawasan hutan di Jambi, Pangeran Charles dijadwalkan bertemu dengan  Sultan Hamengku Buwono X di Yogyakarta.
Kedatangan Pangeran Charles ke Indonesia kali ini membawa misi pelestarian hutan dan perdamaian dengan meningkatkan dialog antaragama dan budaya. Pangeran Charles akan berada di Indonesia selama lima hari.

Sejarah Suku Anak Dalam Kubu

Sejarah Suku Anak Dalam Kubu
 
Sejarah Suku Anak Dalam atau SAD masih penuh misteri, bahkan hingga kini tak ada yang bisa memastikan asal usul mereka. Hanya beberapa teori, dan cerita dari mulut ke mulut para keturunan yang bisa menguak sedikit sejarah mereka.
Sejarah lisan Orang Rimba selalu diturunkan para leluhur. Tengganai Ngembar (80), pemangku adat sekaligus warga tertua SAD yang tinggal di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi, mendapat dua versi cerita mengenai sejarah Orang Rimba dari para terdahulu. Ia memperkirakan dua versi ini punya keterkaitan.
Yang pertama, leluhur mereka adalah orang Maalau Sesat, yang meninggalkan keluarga dan lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, TNBD. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo.
Sedangkan versi kedua, penghuni rimba adalah masyarakat Pagaruyung, Sumatera Barat, yang bermigrasi mencari sumber-sumber penghidupan yang lebih baik. Diperkirakan karena kondisi keamanan tidak kondusif atau pasokan pangan tidak memadai di Pagaruyung, mereka pun menetap di hutan itu.
Versi kedua ini lebih banyak dikuatkan dari segi bahasa, karena terdapat sejumlah kesamaan antara bahasa rimba dan Minang. Orang Rimba juga menganut sistem matrilineal, sama dengan budaya Minang. Dan yang lebih mengejutkan, Orang Rimba mengenal Pucuk Undang Nang Delapan, terdiri atas hukum empat ke atas dan empat ke bawah, yang juga dikenal di ranah Minang.
Di Kabupaten Tanah Datar sebagai pusat Kerajaan Pagaruyung sendiri, terdapat sebuah daerah, yaitu Kubu Kandang. Merekalah yang diperkirakan bermigrasi ke beberapa wilayah di Jambi bagian barat.
Sedangkan perilaku Orang Rimba yang kubu atau terbelakang, menurut Ngembar, disebabkan beratus tahun moyang mereka hidup di tengah hutan, tidak mengenal peradaban. Kehidupan mereka sangat dekat dan bergantung pada alam. “Kami beranak pinak dalam rimba, makan sirih, berburu, dan meramu obat alam, sehingga lupa dengan peradaban orang desa. Kami terbentuk jadi Orang Rimba,” tuturnya.
Mereka hidup seminomaden, karena kebiasaannya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tujuannya, bisa jadi “melangun” atau pindah ketika ada warga meninggal, menghindari musuh, dan membuka ladang baru. Orang Rimba tinggal di pondok-pondok, yang disebut sesudungon, bangunan kayu hutan, berdinding kulit kayu, dan beratap daun serdang benal.
Hasil survei Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004 menyatakan, jumlah keseluruhan Orang Rimba di TNBD ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasan TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Orang Rimba. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu.
Selain di TNBD, kelompok- kelompok Orang Rimba juga tersebar di tiga wilayah lain. Populasi terbesar terdapat di Bayung Lencir, Sumatera Selatan, sekitar 8.000 orang. Mereka hidup pada sepanjang aliran anak-anak sungai keempat (lebih kecil dari sungai tersier), seperti anak Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya sekitar 1.200 orang.
Kelompok lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang.
Karena tidak dekat dengan peradaban dan hukum modern, Orang Rimba memiliki sendiri hukum rimba. Mereka menyebutnya seloka adat.
Ada satu seloka yang bisa menjelaskan tentang Orang Rimba:
Bertubuh onggok
berpisang cangko
beratap tikai
berdinding baner
melemak buah betatal
minum air dari bonggol kayu.

Ada lagi:
berkambing kijang
berkerbau tenu
bersapi ruso

Mereka sehari-harinya tanpa baju, kecuali cawat penutup kemaluan. Rumahnya hanyalah beratap rumbia dan dinding dari kayu.
Cara hidup dengan makan buah-buahan di hutan, berburu, dan mengonsumsi air dari sungai yang diambil dengan bonggol kayu. Makanan mereka bukan hewan ternak, tetapi kijang, ayam hutan, dan rusa.
Identitas Orang Rimba yang tertuang lewat seloka, membedakannya dari orang terang – sebutan untuk masyarakat di desa.
Mereka membuat seloka tentang orang terang:
berpinang gayur
berumah tanggo
berdusun beralaman
beternak angso

Seloka yang muncul lewat mimpi juga memberi panduan mengenai hidup sosial di rimba. Aturan-aturan Orang Rimba memang tidak jauh dari Pucuk Undang Nang Delapan, yang dibawa dari minang. Aturan rimba sendiri melarang adanya pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan. Inilah larangan terberat, yang jika dilanggar akan dikenai hukuman 500 lembar kain. Jumlah kain sebanyak itu dinilai sangat berat, dan sangat sulit disanggupi, karenanya Orang Rimba berusaha untuk mematuhi.
Kisah yang dituturkan Ngembar tak berbeda jauh dengan warga Suku Anak Dalam (SAD) di kawasan lain TNBD. Tumenggung Tarib, pimpinan di salah satu rombongan SAD, mengemukakan bahwa mereka adalah keturunan Kerajaan Pagaruyung (dharmacraya) yang merantau ke Jambi. Untuk sejarah lisan ini, menurut Tarib, diturunkan sampai enam generasi ke bawah.
Terdesak penjajahan
Johan Weintre, salah seorang peneliti antropologi asal Australia, yang juga pernah menetap di hutan rimba Taman Nasional Bukit Dua belas (TNBD), menuliskan, Kerajaan Sriwijaya menguasai Selat Malaka serta melakukan perniagaan dan memiliki hubungan sosial dengan mancanegara, termasuk Tiongkok dan Chola, sebuah kerajaan di India Selatan. Sekitar tahun 1025, Kerajaan Chola menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menguasai daerahnya. Lalu sebagian penduduk yang tidak ingin dikuasai penjajah, mengungsi ke hutan. Mereka kemudian disebut kubu, membangun komunitas baru di daerah terpencil.
Sebenarnya, masyarakat SAD tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain di sekitarnya. Pengaruh Minang tidak hanya lekat di sana, namun juga pada daerah sekitarnya, wilayah Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, dan Muaro Tebo, yang mengitari kawasan TNBD.
Salah satu buktinya, masyarakat adat melayu kuno di Kuto Rayo, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, juga memegang hukum adat Pucuk Undang Nang Delapan dari Minang, dan menganut sistem matrilineal. Sejarah mereka juga kaum pelarian pada Perang Sriwijaya.