Jumat, 28 Oktober 2011


Potensi Pengembangan Olahraga Suku Anak Dalam Di Provinsi Jambi
Pasang surut keolahragaan nasional, yang telah memasuki kehidupan bangsa Indonesia sejak masa pra kemerdekaan, memang banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, kehidupan sosial, aktifitas fisik dan kebugaran jasmani dari masyarakat itu sendiri. Namun, apapun kelebihan dan kelemahannya kebijakan nasional yang telah diluncurkan, kesemuanya itu merupakan respon nyata yang diposisikan bapak bangsa dan pemerintah untuk menjawab tantangan pada masa kini.


Salah satu faktor mengapa prestasi olahraga Indonesia semakin lama semakin merosot adalah tingkat kebugaran jasmani anak dan warga negara Indonesia sangat rendah, ini disebabkan kebiasaan hidup sehari-hari serba instan dan pengaruh kehidupan sosial yang serba global dan transparan, sehingga orang enggan untuk melakukan aktifitas fisik, dan akibatnya akan mempengaruhi gerak yang serba terbatas sehingga menyebabkan penyakit kegemukan. Oleh sebab itu sanggar kebugaran jasmani menjamur dimana-mana untuk menjanjikan menurunkan berat badan.


Rasanya sudah terlalu banyak ungkapan dan paparan kekecewaan menyoal prestasi keolahragaan Indonesia dewasa ini. Begitu syaratnya persoalan yang tengah dihadapi keolahragaan nasional, kita seolah kehilangan solusi, dengan cara apa kita memulai dari yang kecil. "Sebuah pohon besar anda bermula dari sebuah biji yang kecil, perjalanan seribu mil bermula dari sebuah langkah kecil". Kita perlu belajar dari Pepatah Cina tersebut untuk kemudian diaktualisasikan dalam perilaku keseharian.


Dari beberapa penelitian keolahragaan salah satunya SDI (Sport Development Indeks) menyatakan bahwa, kebugaran jasmani bangsa Indonesia sangat rendah. Terinspirasi dari gambaran diatas mengapa kita tidak melakukan kegiatan ataupun aktifitas fisik kembali kepada masa lalu back to natural, namun tidak mengurangi aktifitas kehidaupan sehari-hari, seperti menghindari menaiki tangga lift untuk menjaga kebugaran, selalu bersepeda dua kali dalam seminggu, syukur-syukur bisa tiga kali dalam seminggu, jangan naik mobil bekepanjangan. Dan ini semua dapat kita lihat atau kita amati bagaimana kehidupan suku-suku pedalaman yang melakukan aktifitas fisik sehari-hari tanpa melakukan pekerjaan yang sifatnya instan.

Ketry Freeman seorang suku asli Aborizin dari Australia, dengan dipoles sedikit dan dilatih atletik berhasil meraih medali Emas 400 meter putri Olympiade Sidney Autralia tahun 2000. Padahal sebelumnya beliau belum merasakan tekhnologi ataupun latihan olahraga, masih alami dan belum terkontaminasi dengan kehidupan perkotaan. Dalam Pasal 24 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2005 tentang Sistem keolahragaan Nasional, lembaga pemerintah maupun swasta berkewajiban menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan olahraga bagi karyawannya untuk meningkatkan kesehatan, kebugaran dan kegembiraan serta kualitas dan produktifitas kerja sesuai dengan kondisi masing-masing. Artinya kebugaran merupakan tanggung jawab kita semua sebagai masyarakat Indonesia, tidak terkecuali Suku Anak Dalam. Begitu juga tentang kehidupan Suku Anak Dalam (SAD) di Provinsi Jambi yang masih alami dan natural baik itu kehidupan sosialnya maupun aktifitas fisik, oleh sebab itu peneliti ingin mengetahui sejauh mana tingkat kebugaran jasmani, tentang kehidupan sosialnya dan aktifitas fisiknya, yang nantinya hasil penelitian ini dapat menghasilkan kebermanfaatan untuk olahraga di Indonesia Khususnya di Provinsi Jambi.


Departemen Sosial Republik Indonesia menamakan kelompok masyarakat yang terisolir sebagai masyarakat terasing. Melalui Keputusan Presiden (Kepres) Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komuditas Adat Terpencil maka sejak tanggal 13 September 1999 istilah masyarakat terasing diganti dengan nama Komuditas Adat Terpencil (KAT). Pada Pasal 1 Keppres No. 111 tahun 1999, yang dimaksud dengan komuditas Adat Terpencil (KAT) ialah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan sosial, ekonomi maupun politik. Komuditas Adat Terpencil (KAT) mengandung ciri-ciri sebagai berikut :


Pertama  : Berbentuk komoditas, tertutup dan homogen.
Kedua     : Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan.
Ketiga     : Pada umumnya terpencil secara geografis dan relatif sulit dijangkau.
Keempat : Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi sub-sistem.
Kelima     : Peralatan dan teknologinya sederhana.
Keenam  : Ketergantungan kepada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat relatif tinggi.
Ketujuh   : Terbatasnya akses pelayanan sosial, ekonomi dan politik.


Di dalam areal taman nasional tersebut terdapat komuditas adat terpencil (KAT) Suku Anak Dalam yang hidup bermukim sejak ratusan tahun lampau. Dan hidup berpindah-pindah mempunyai pola hidup yang keras untuk bisa mempertahankan hidupnya, mereka harus mempunyai kondisi fisik yang kuat, kalau tidak mau tersingkir dari kehidupan dihutan rimba yang serba keras. Sejak ditetapkannya Cagar Bukit Duabelas yang kini berubah menjadi TNB 12 sebagai wilayah hutan yang dilindungi dengan undang-undang telah ada upaya dari sejlunlah LSM untuk mendekati KAT dengan menyentuh aspek kehidupan Suku Anak Dalam. Begitu juga penulis ingin menyentuh pada aspek keolahrgaan.


Dipihak pemerintah, yakni petugas dari Unit KSDA Dinas Kehutanan sering melakukan kontak dengan Suku Anak Dalam di areal TNB 12 dalam rangka kegiatan konservasi dan pengawasan sumber daya alam TNB 12. Sedangkan dinas Kesejahtraan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Provinsi Jambi di tahun mendatang hendaknya perlu melakukan upaya pemberdayaan KAT di dalam areal TNB 12. Walaupun telah ada sentuhan Dinas Kehutanan dan LSM kepada warga Suku Anak Dalam di dalam areal TNB 12 namun sentuhan tersebut masih terbatas pada kegiatan konservasi dan upaya penyelamatan sumber daya alam TNB 12. Oleh karena itu kegiatan yang adaa belum menyentuh pada aspek sosial budaya, mental, religius, ekonomi, olahraga, politik dan pemerintahan. Di sini penulis mencoba untuk menyentuk salah satu aspek tersebut yaitu olahraga.


Warga Suku Anak Dalam sebagai penghuni radisional TNB 12 dengan segala potensi yang ada, budaya, adat yang khas dengan tantangan lingkungan hutan yang membutuhkan fisik yang kuat, belum tersentuh dan diberdayakan ke dalam suatu sistem pengembangan keolahragaan, khususnya di cabang olahraga atletik, dimana cabang olahraga ini sesuai dengan karaktristik dan budaya kehidupan Suku Anak Dalam. Pada awalnya untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, Suku Anak Dalam, melaksanakan kegiatan berburu, meramu, menangkap ikan dan memakan buah-¬buahan yang ada di dalam hutan. Namun dengan perkembangan pengetahuan dan peralatan hidup yang digunakan akibat adanya akulturasi budaya dengan masyarakat luar, kini telah mengenal pengetahuan pertanian dan perkebunan. Berburu binatang seperti babi, kera, beruang, monyet, ular, labi-labi, rusa, kijang dan berbagai jenis unggas, merupakan salah satu bentuk mata pencaharian mereka. Kegiatan berburu dilaksanakan secara bersama-sama dengan membawa anjing. Alat yang digunakan adalah Tombak dan Parang. Di samping itu untuk mendapatkan binatang buruan juga menggunakan sistem perangkap dan jerat.


Jenis mata pencaharian lain yang dilakukan adalah meramu di dalam hutan, yaitu mengambil buah-buahan dedaunan dan akar-akaran sebagai bahan makanan. Lokasi tempat meramu sangat menentukan jenis yang diperoleh. Jika meramu dihutan lebat, biasanya mendapatkan buah-buahan, seperti cempedak,durian, arang paro, dan buah-buahan lainnya. Di daerah semak belukar dipinggir sungai dan lembah mereka mengumpulkan pakis, rebung, gadung, enau, dan rumbia. Mencari rotan, mengambil madu, menangkap ikan adalah bentuk mata pencaharian lainnya. Kini mereka juga telah mengenal pertanian dan perkebunan dengan mengolah ladang dan karet sebagai mata pencahariannya. Semua bentuk dan jenis peralatan yang digunakan dalam mendukung dalam proses pemenuhan kebutuhan hidupnya sangat sederhana sekali.


Kepercayaan Suku Anak Dalam terhadap Dewa-dewa roh halus yang menguasai hidup tetap terpatri, kendatipun diantara mereka telah mengenal agama islam. Mereka yakini bahwa setiap apa yang diperolehnya, baik dalam bentuk kebaikan, keburukan, keberhasilan maupun dalam bentuk musibah dan kegagalan bersumber dari para dewa. Sebagai wujud penghargaan dan persembahannya kepada para dewa dan roh, mereka melaksanakan upacara ritual sesuai dengan keperluan dan keinginan yang diharapkan. Salah satu bentuk upacara ritual yang sering dilaksanakan adalah Besale (upacara pengobatan). Suku Anak Dalam (SAD) meyakini bahwa penyakit yang diderita sisakit merupakan kemurkaan dari dewa atau roh jahat oleh sebab itu perlu memohon ampunan agar penyakit yang diderita dapat disembuhkan. Properti yang digunakan dalam upacara besale sangat syarat dengan simbol-simbol.


Dari proses adaptasinya dengan lingkungan, Suku Anak Dalam (SAD) juga memilki pengetahuan tentang bahan pengobatan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewan. Melalui panca indranya mampu membedakan tumbuhan beracun dan tidak beracun termasuk mengolahnya. Pengetahuannya tentang teknologi sangat sederhana, namun memiliki kemampuan mendeteksi masalah cuaca, penyakit dan mencari jejak. Suku Anak Dalam (SAD) yang selama ini belum tersentuh dan terpantau keolahragaan secara ilmiah, yang selama ini belum pernah menyumbangkan atlet atletik ketingkat daerah dan nasional. Ini dapat dibuktikan Jambi pada empat tahun terakhir tidak ada satupun atlet atletiknya yang lolos PON XVII di Kaltim.


Oleh sebab itu, perlu kiranya diadakan penelitian tentang pengembangan potensi yang ada di Suku Anak Dalam dilihat dari aktifitas fisik, alam lingkungan sangat mendukung untuk dikembangkan menjadi kecabangan olahraga khususnya Cabor Ateltik terutama pada nomor-nomor lari jarak menengah.

Suku Anak Dalam



KEBUDAYAAN SUKU ANAK DALAM

June 14, 2009
Indonesia adalah salah satu Negara yang memiliki ribuan suku bangsa ya ng beraneka ragam. Masing-masing daerah saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebu dayaan daerah lain atau kebudayaan yang berasal dari luar. Salah satu kebudayaan tersebut adalah Suku Anak Dalam. Suku Anak Dalam terdapat di daerah Jambi dan Sumatera Selatan. Suku Anak Dalam belum terlalu dikenal oleh masyarakat Indonesia karena Suku Anak Dalam sudah sangat langka dan mereka tinggal di tempat-tempat terpencil yang jauh dari jangkauan orang-orang
Suku Anak Dalam disebut juga Suku Kubu tau Orang Rimba. Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Malau sesat yang lari ke hutan rimba disekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duapuluh. Mereka kemudian dinbmakan Moyang Segayo. Sistem kemasyarakatan mereka , hidup mereka secara nomaden atau tidak menetap dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun diantara mereka sudah banyak yang telah memiliki lahan karet ataupun pertanian lanilla.
Sistem kepercayaan mereka adalah Polytheisme yaitu mereka mempercayai banyak dewa. Dan mereka mengenal dewa mereka dengan sebutan Dewo dan Dewa. Ada dewa yang baik adapula dewa yang jahat. Selain kepercayaan terhadap dewa mereka juga percaya adanya roh nenek moyang yang selalu ada disekitar mereka.

Suku Anak Dalam juga Sangay antusias terhadap pendidikan. Mereka sangat bersemangat mengikuti belajar di sekolah. Tak hanya anak-anak saja yang bersekolah akan tetapi juga orang dewasa pun mengikutinya. Mereka berpikir bahwa dengan bersekolah mereka akan pintar dan tak mudah untuk dibodohi oleh orang luar.

Hal-hal yang telah diuraikan diatas menurut saya sangat menarik sehingga saya akan mengangkat makalah dengan judul “Kebudayaan Suku Anak DalamSuku Anak Dalam merupakan salah satu Komunitas Adat Terpencil ( KAT ) yang ada di Propinsi Jambi yang mempunyai permasalahan spesifik. Jika kita melihat pola kehidupan dan penghidupan mereka, hal ini disebabkan oleh keterikatan adat istiadat yang begitu kuat. Hidup berkelompok dengan pakaian hanya sebagian menutupi badan dengan kata lain mereka sangat tergantung dengan hasil hutan / alam dan binatang buruan.
A.Penyebutan Orang Rimba / Orang Kubu
Penyebutan terhadap Orang Rimba perlu untuk diketahui terlebih dahulu, karena ada tiga sebutan terhadap dirinya yang mengandung makna yang berbeda, yaitu : Pertama KUBU, merupakan sebutan yang paling populer digunakan oleh terutama orang Melayu dan masyarakat Internasional. Kubu dalam bahasa Melayu memiliki makna peyorasi seperti primitif, bodoh, kafir, kotor dan menjijikan. Sebutan Kubu telah terlanjur populer terutama oleh berbagai tulisan pegawai kolonial dan etnografer pada awal abad ini. Kedua SUKUANAK DALAM, sebutan ini digunakan oleh pemerintah melalui Departemen Sosial. Anak Dalam memiliki makna orang terbelakang yang tinggal di pedalaman. Karena itulah dalam perspektif pemerintah mereka harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka dari hutan dan dimukimkan melalui program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT). Ketiga ORANG RIMBA, adalah sebutan yang digunakan oleh etnik ini untuk menyebut dirinya. Makna sebutan ini adalah menunjukkan jati diri mereka sebagai etnis yang mengembangkan kebudayaannya yang tidak bisa lepas dari hutan. Sebutan ini adalah yang paling proposional dan obyektif karena didasarkan kepada konsep Orang Rimba itu sendiri dalammenyebut dirinya.
Suku Anak Dalam masih berpaham animisme. Mereka percaya bahwa alam semesta memiliki banyak jenis roh yang melindungi manusia. Jika ingin selamat, manusia harus menghormati roh dan tidak merusak unsur-unsur alam, seperti hutan, sungai, dan bumi. Kekayaan alam bisa dijadikan sumber mata pencarian untuk sekadar menyambung hidup dan tidak berlebihan.Hingga kini suku AnakDalam masih mempertahankan beberapa etika khusus

Suku Anak Dalam


Sebutan Diri

Kelompok masyarakat terasing yang bermukim di sekitar pegunungan duabelas Jambi menyebut diri Orang Rimba yang dibedakan dengan masyarakat luar, yang disebut orang terang. Anak Dalam juga merupakan sebutan diri yang mereka senangi, dan mereka sangat marah jika disebut orang Kubu, sebutan itu dianggap merendahkan diri mereka. Dalam percakapan antar warga masyarakat jambi tentang orang Kubu tercermin dari ungkapan seseorang yang menunjukan segi kedudukan dan kebodohan, misalnya membuang sampah sembarangan diumpat “Kubu kau….!”. sebutan lain yang disenangi orang rimba ialah “sanak”, yaitu cara memanggil seseorang yang belum kenal dan jarang bertemu. Bila sudah sering bertemu maka panggilan akrab ialah “nco” yang berarti kawan.(Soetomo, 1995:58)
Senada dengan diatas Butet Manurung juga mengemukakan bahwa, kubu berarti kotor, primitif, kafir, atau arti lain yang senada. Kata ini sebenarnya berasal dari Orang Rimba yang justru dipakai oleh orang luar untuk menunjukan identitas Orang Rimba yang “primitif”. Di kemudian hari, penyebutan ini ternyata mempengaruhi cara pandang dan perilaku Orang Rimba bila berhadapan dengan orang luar. Mereka menjadi merasa rendah diri dan hilang kepercayaan terhadap dirinya sendiri. (Manurung, 2007:41)
2. Asal Usul Suku Anak Dalam (Orang Rimba)
Tentang asal usul Suku Anak Dalam (Muchlas, 1975) menyebutkan bermacam cerita/hikayat dari penuturan lisan yakni: Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam, Cerita Seri Sumatera Tengah, Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu Besar dan Bayat, Cerita tentang Orang Kubu. Dari cerita/hikayat tersebut Muchlas menarik kesimpulan bahwa Anak Dalam berasal dari tiga keturunan:

1. Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari.
2. Keturunan dari Minangkabau umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersan.
3. Keturunan dari Jambi Asli ialah Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko.

Versi lain asal usul menurut Orang Rimba sendiri dalam Disertasi Muntholib Soetomo yaitu, seorang yang gagah berani bernama Bujang Perantau. Pada suatu hari memperoleh buah gelumpang dan dibawa kerumahnya. Suatu malam ia bermimpi agar buah gelumpang itu dibungkus dengan kain putih yang nanti akan terjadi keajaiban, yang berubah menjadi seorang putri yang cantik. Putri itu mengajak kimpoi Bujang Perantau, namun Bujang Perantau berkata bahwa tidak ada orang yang mengawinkan mereka. Putri tersebut berkata : “Potonglah sebatang kayu bayur dan kupas kulitnya kemudian lintangkan di sungai, kamu berjalan dari pakal saya dari ujung. Kalau kiata dapat beradu kening di atas kayu tersebut berarti kita sudah kimpoi”. Permintaan itu dipenuhi oleh Bujang Perantau dan terpenuhi segala syaratnya, kemudian keduanya menjadi suami isteri. Dari hasil perkimpoian itu lahirlah empat orang anak, yaitu Bujang Malapangi, Dewo Tunggal, Putri Gading, Dan Putri Selaro Pinang Masak. Bujang Malapangi, anak tertua yang bertindak sebagai pangkal waris dan Putri Selaro Pinang masak sebagai anak bungsu atau disebut juga ujung waris keluar dari hutan untuk pergi membuat kampung dan masuk islam; ke duanya menjadi orang Terang. Putri Selaras Pinang Masak menetap di Seregam Tembesi, sedangkan Bujang Malapangi membuat kampung pertama di sekitar sungai Makekal pertama di Kembang Bungo, ke dua Empang Tilan, ke tiga di Cempedak Emas, ke empat di Perumah Buruk, ke lima di Limau Sundai, dan kampong terakhir di Tanah Garo sekarang. Hal inilah membuat orang Rimba menjadikan tokoh keturunan Bujang Malapangi sebagai Jenang (orang yang dapat diterima oleh orang Rimba dan juga oleh orang lain, selain orang Rimba yang berfungsi sebagai perantara bagi orang Rimbo yang akan berhubungan dengan orang lain atau orang lain yang akan berhubungan dengan orang Rimba). Jenang yang paling berpengaruh dijadikan rajo (raja), dan segala urusan antara orang Rimba dengan orang luar harus melibatkan Jenang mereka dan rajo-nya.
Secara mitologi, mereka (Suku Anak-Dalam) masih menganggap satu keturunan dengan Puyang Lebar Telapak yang berasal dari Desa Cambai, Muara Enim. Menurut pengingatan mereka, yang didapat dari penuturan kakek-neneknya, bahwa sebelum mereka bertempat tinggal di wilayah Sako Suban, mereka tinggal di dusun Belani, wilayah Muara Rupit. Mereka hijrah karena terdesak waktu perang ketika zaman kesultanan Palembang dan ketika masa penjajahan kolonial Belanda. Secara tepat waktu kapan mereka hijrah tidak diketahui lagi, yang mereka (Suku Anak Dalam) ingat berdasarkan penuturan, hanya masa kesultanan Palembang dan masa penjajahan Belanda. Dari Dusun Belani, Suku Anak-Dalam mundur lebih masuk ke hutan dan sampai di wilayah Sako Suban. Di wilayah Sako Suban ini, mereka bermukim di wilayah daratan diantara sungai Sako Suban dan sungai Sialang, keduanya sebagai anak dari sungai Batanghari Leko. Wilayah pemukiman yang mereka tempati disebut dengan Tunggul Mangris. (Dirjen Bina Masyarakat Terasing Depsos RI, 1998 :55-56)
Versi Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan asal usul Suku Anak-Dalam yakni : sejak Tasun 1624 Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi, yang sebenarnya masih satu rumpun, memang terus menerus bersitegang dan pertempuran di Air Hitam akhirnya pecah pada tahun 1629. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada dua kelompok masyarakat anak-dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan) berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan postur tubuh ras Mongoloid seperti orang Palembang sekarang. Mereka ini keturunan pasukan palembang. Kelompok lainnya tinggal di kawasan hutan Jambi berkulit sawo matang, rambut ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda dan negrito). Konon mereka tentara bayaran Kerajaan Jambi dari negeri lain.

Versi lain adalah cerita tentang perang jambi dengan belanda yang berakhir pada tahun 1904, pihak pasukan Jambi yang dibela oleh Anak-Dalam yang dipimpin oleh Raden Perang. Raden Perang adalah cucu Raden Nagasari. Dalam perang gerilya maka terkenallah Anak-Dalam dengan sebutan Orang Kubu artinya orang yang tak mau menyerah pada penjajah Belanda yang membawa penyakit jauh senjata api. Orang Belanda disebut Orang Kayo Putih sebagai lawan Raja Jambi (Orang Kayo Hitam) (Muchlas,1995).
Lebih lanjut tentang asal-usul “Suku Anak-Dalam” ini juga dimuat pada seri profil masyarakat terasing (BMT, Depsos, 1988) yakni sebagai berikut :
Pada zaman dahulu kala terjadi peperangan antara Kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Puti Selaras Pinang Masak dan kerajaan Tanjung Jabung dipimpin oleh Rangkayo Hitam. Peperangan ini semakin berkobar, akhirnya didengar oleh Raja Pagar Ruyung, yaitu ayah dari Puti Selaras Pinang Masak. Raja Pagar Ruyung memerintahkan agar dapat menaklukkan Kerajaan Rangkayo Hitam, mereka menyanggupi dan bersumpah/berjanji tidak akan kembali sebelum menang. Jarak antara kerajaan Pagar Ruyung dengan Kerajaan Jambi sangat jauh, harus melalui hutan rimba belantara dengan berjalan kaki. Perjalanan mereka sudah berhari-hari lamanya, kondisi mereka sudah mulai menurun sedangkan persediaan bahan makanan sudah habis, mereka sudah kebingungan. Perjalanan yang ditempuh masih jauh, untuk kembali ke Kerajaan Pagar Ruyung mereka merasa malu. Sehingga mereka bermusyawarah untuk mempertahankan diri hidup didalam rimba.
Untuk menghindari rasa malu mereka mencari tempat-tempat yang sepi dan jauh ke dalam rimba raya. Keadaan kehidupan mereka makin lama semakin terpencil, keturunan mereka menamakan dirinya Suku Anak-Dalam.
Tentang Suku Anak-Dalam ini (Orang Rimba) Ruliyanto, wartawan Tempo (Tempo, April 2002:70) menulis bahwa : sejumlah artikel menyebut orang rimba merupakan kelompok melayu tua dari rumpun Melanesia. Mereka disamakan dengan kelompok melayu tua lainnya di Indonesia seperti orang Dayak, Sakai, Mentawai, Nias, Toraja, Sasak, Papua, dan Batak pedalaman. Kelompok melayu tua merupakan eksodus gelombang pertama dari Yunan (dekat lembah sungai Yang Tze di Cina Selatan) yang masuk ke Indonesia Selatan tahun 2000 sebelum masehi. Mereka kemudian tersingkir dan lari ke hutan ketika kelompok Melayu Muda datang dengan mengusung peradaban yang lebih tinggi antara tahun 2000 dan 3000 sebelum masehi.
Menurut Van Dongen (1906) dalam Tempo (2002:71) menyebutkan bahwa Orang Rimba sebagai orang primitif yang taraf kemampuannya masih sangat rendah dan tak beragama. Dalam hubungannya dengan dunia luar kota Orang Rimba mempraktekan silent trade mereka melakukan transaksi dengan bersembunyi di dalam hutan dan melakukan barter, mereka meletakkannya di pinggir hutan, kemudian orang melayu akan mengambil dan menukarnya. Gongongan anjing merupakan tanda barang telah ditukar.
Senada dengan itu Bernard Hagen (1908) dalam Tempo (2002:71) (die orang kubu auf Sumatera) menyatakan Orang Rimba sebagai orang pra melayu yang merupakan penduduk asli Sumatera demikian pula Paul Bescrta mengatakan bahwa orang Rimba semua dengan proto melayu (melayu tua) yang ada di Semen njung Melayu yang terdesak oleh kedatangan melayu muda.


Artikel Berkaitan:

One Response to “Suku Anak Dalam Jambi 

Suku Anak Dalam