Jumat, 11 November 2011

Suku Anak Dalam yang Malang

Suku Anak Dalam yang Malang

Dear Baltyrans di manapun berada sharing tulisanku kali ini tentang Suku Anak Dalam atau populer disebut juga Suku Kubu, tulisan ini terinspirasi saat menonton berita di TV tentang Suku Kubu yang harus keluar dari habitat mereka di kawasan hutan di pedalaman Jambi dan terpaksa memasang tenda plastik di tanah perkebunan sawit milik warga. Untuk makan sehari-hari mereka terpaksa memunguti buah-buah sawit yang jatuh ke tanah, lalu menjual buah sawit tersebut ke tengkulak penadah buah sawit. Hal ini tentu merugikan petani sawit yang lahan sawitnya ditempati oleh beberapa keluarga dari Suku Kubu ini.
Sebenarnya Suku Kubu ini tidak bisa disalahkan, mereka harus keluar dari ‘lingkungan asal’ nya karena hutan di mana mereka tinggal sudah beralih fungsi menjadi bentangan ribuan hektar kebun Kelapa Sawit milik Pengusaha besar maupun kecil, selain itu pembalakan liar terhadap hutan di daerah pedalaman makin mempersempit ruang gerak Suku Kubu ini. Sedang budaya dan pola hidup mereka yang nomaden dan menjadi peladang berpindah sudah dilakukan secara turun temurun.
Sedikit kutipan dari Wikipedia tentang Suku Kubu:
Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatera tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan. Mereka mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang.

Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang melarikan diri ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duapuluh. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal.
Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya.
Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan.*
Seingatku dulu saat masih kuliah di tahun 1988, sudah ada upaya Pemerintah untuk mengkonservasi Suku Kubu ini di kawasan Hutan Lindung di daerah pedalaman Jambi. Mereka diberi bantuan sandang pangan secara berkala, walau tidak besar hal ini rutin dilakukan, sehingga populasi Suku Kubu tetap bisa dipertahankan dan tidak punah dimakan waktu.
Rupanya kebijakan konservasi terhadap Suku Kubu ini tidak berlangsung lama, terbukti kini mereka harus terusir dari rumahnya sendiri, tragis banget, seharusnya Depatemen Sosial melalui Dinas Sosial Propinsi Jambi lebih jeli mengawasi ‘saudara-saudara’ sebangsa dan setanah air yang merupakan “Kekayaan Alam dan Budaya” asli Indonesia mendapat perlakuan yang layak, bukankan UUD 1945 Pasal 33 menjelaskan bahwa Negara menjamin seluruh kesejahteraan rakyat Indonesia dan buat mereka juga diberi jaminan mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan isi pasal 31 UUD 1945.
Tidak bermaksud menuduh pemerintah tidak aware sama kehidupan Suku Kubu ini, mungkin saja alokasi dana ‘konservasi’ Suku Kubu sudah tidak diposting lagi sejak kejatuhan Pak Harto. Semoga berita miris Suku Kubu ini sempat diperhatikan Pak SBY dan para politisi negeri ini, bosan dengan keributan di Pansus Century yang ‘nggak jelas’ juntrungannya. Cobalah lihat yang jauh ke bawah, masih banyak banget wong cilik yang menderita. Boro-boro bisa beli beras yang harganya akhir-akhir ini sedang selangit, bisa makan nasi aking aja sudah syukur.
Kita harus bangga dengan perjuangan seorang anak negeri ini yang bernama Saur Marlina Manurung yang ngetop dikenal dengan nama Butet Manurung, yang telah mengembangkan “Sokola Rimba” (sekolah rimba) pada Suku Kubu yang mendiami Taman Nasional Bukit Duabelas di Jambi. Dia adalah perintis dan pelaku pendidikan alternatif bagi masyarakat terasing dan terpencil di Indonesia. Bahkan Pemerintah sudah berencana mengadopsi system pendidikan ini terhadap masyarakat dengan kondisi khusus.*
Semoga Kisah yang memprihatinkan ini bisa segera di atasi, biar bagaimanapun juga mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia, sama halnya dengan Suku Asmat di Papua, Suku Dayak di Kalimantan, Suku Sasak di Lombok dan Suku Badui di Banten serta suku-suku lainnya yang tidak akan habis kalau dibahas satu persatu.
Keprihatinanku dengan kehidupan Suku Kubu ini, kembali mengingatkan aku pada kisah masa lalu yang pernah dialami oleh Papaku saat harus bertugas di pedalaman Jambi. Kejadian ini terjadi di tahun1976, saat itu Papaku sedang dalam perjalanan antara kabupaten Muara Bungo dan Tebo.
Papaku hanya ditemani oleh seorang supir. Kebetulan supir ini berasal dari Jambi, jadi cukup faham dengan adat dan kebiasaan Suku Kubu. Sebelum melalui daerah yang diperkirakan banyak di huni oleh keluarga Suku Kubu, Pak Supir berpesan pada Papaku “Pak, nanti kalau mobil kita dihadang oleh Suku Kubu, tolong bapak jangan sampai meludah walaupun bapak mencium bau busuk dari tubuh mereka, kalau nanti mereka meminta rokok atau uang sekedarnya tolong diberi.” Begitulah pesan pak supir, arti ‘Kubu’ dalam bahasa daerah setempat adalah ‘Bau’, jadi sama artinya dengan “Suku Bau” kasihan amat ya, makanya pemerintah memberi nama yang agak bagus dengan nama “Suku Anak Dalam”.
Balik lagi ke kisah yang dialami oleh Papaku, berhubung tugas dinas ini hanya berdua dengan pak supir, membuat Papaku mengangguk setuju, yang penting aman di jalan pikir Papaku. Apa yang dikatakan oleh pak supir ternyata terbukti, mobil dinas yang ditumpangi Papaku, dicegat dan diberhentikan di tengah jalan oleh 4 orang dewasa, terdiri dari 2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan.
Mereka hanya memakai cawat sedang yang perempuannya bertelanjang dada dengan rambut panjang awut-awutan saat itu tahun 1976, suku Kubu ini masih berpakaian ala kadarnya, tidak seperti saat ini sudah berpakaian seperti orang kebanyakan. Papaku mencium bau yang tidak enak dari tubuh mereka tetapi tidak meludah atau menutup hidung, ingat kata pak supir kalau sampai melakukan dua hal tersebut bisa membuat mereka marah.
Salah satu dari mereka maju mendekati Papaku, tampaknya ini sang ketua sukunya, dia bicara dengan bahasa Kubu yang kebetulan difahami oleh pak supir yang langsung menterjemahkan kepada Papaku. Kepala suku memberi isyarat ‘seperti orang yang menghisap rokok’ maksudnya dia minta rokok, kebetulan Papaku membawa rokok dan langsung memberikannya. Masih belum selesai si kepala suku masih minta uang buat membeli sedikit garam dan makanan, Papaku memberi uang sekedarnya, mereka menerima pemberian Papaku dengan senang hati.
Tiba-tiba sang ketua suku berbicara agak serius sambil memandang ke Papaku, langsung pak supir mentranslate apa yang diucapkan sang ketua suku, seperti ini ucapannya:
“Istrimu saat ini sedang hamil tua, nanti dia akan mengalami kesulitan saat melahirkan anak kalian, jadi aku ada obat yang bisa membantu meringankan sakitnya”.
Papaku bener-bener terkejut saat mengetahui apa yang dimaksud oleh kepala suku, Subhanallah…. Koq mereka bisa tahu kalau Mamaku saat itu sedang hamil tua dan sudah dekat waktu untuk melahirkan, padahal Papaku nggak pernah ketemu sama orang Kubu ini, tapi mereka bisa tahu keadaan Papaku. Padahal pak supir juga nggak ngomong apa-apa sebelumnya.
Selanjutnya sang ketua suku mengeluarkan ‘sebongkah getah’ kering dari suatu pohon, sorry to say aku lupa apa nama pohonnya, yang kata beliau ‘benda ini keramat’ dan berfungsi sebagai obat penawar rasa sakit di saat Mamaku mengalami kesulitan persalinan kelak, caranya rendam getah kayu kering ini dalam segelas air tawar lalu rendaman air getah kayu ini diminumkan ke si Sakit, selain itu getah kayu tersebut bisa menjadi jimat pelindung bagi anak bayi dari gangguan mahluk halus, caranya dengan meletakkan getah kayu kering tersebut dibawah bantal tidur si bayi.
Begitulah pesan-pesan penting dari sang ketua suku, Papaku mengangguk sambil tersenyum dan menyalami sang ketua suku sambil mengucapkan terimakasih dan menerima jimat getah kayu kering itu, mereka mempersilahkan Papaku dan pak supir melanjutkan kembali perjalanan dinasnya.
Rupanya ramalan sang kepala Suku Kubu terbukti, beberapa minggu kemudian, di saat Mamaku mengalami kesulitan melahirkan ‘adikku yang bungsu’ sempat terjadi ‘Blooding’ (pendarahan) yang sangat mengkhawatirkan, Papaku rupanya ‘lupa’ dengan pesan sang kepala suku.
Mungkin karena Papaku menganggap sepele omongan sang kepala suku, jadi Papaku hanya berdo’a kepada Ilahi Rabb untuk keselamatan Mamaku, begitu juga Mamaku hanya memohon pertolongan dan keselamatan dari-NYA, Mamaku berkisah bahwa beliau sempat mendengar percakapan para suster dan dokter yang sibuk menolong persalinan Mamaku yang mengalami pendarahan hebat, antara sadar dan tidak Mamaku mengikhlaskan dirinya pada Ilahi Rabb, jika memang sudah waktunya harus pergi Mamaku ikhlas kembali kepada-NYA.
Alhamdulillah, ternyata Mamaku masih diberi-NYA kesempatan untuk hidup lebih lama. Kembali ke nasib si getah kayu kering itu, untuk menghormati pemberian dan niat baik dari sang kepala Suku Anak Dalam tersebut, Papaku mengikuti saran yang kedua yaitu meletakkan getah kayu tersebut di bawah bantal tidur adikku yang masih bayi. Riwayat getah kayu kering tersebut, masih membekas sampai saat ini walau sudah berlalu puluhan tahun yang lampau.
Getah kayu kering itu masih disimpan oleh adikku yang bungsu, walau ukurannya sudah jauh menyusut, karena Papa dan Mamaku memotong getah kayu itu untuk dibagi-bagikan kepada keluarga kami yang memiliki anak bayi, hehehe…buat jimat pelindung si bayi saat tidur. Kuakui saat adik bayi ku tidur, hampir tidak pernah dia menangis, saat itu aku masih berusia 7 tahun, jika Mamaku sibuk di dapur, biasanya aku diminta untuk menjaga adik bayiku. Kini adikku sudah menjadi seorang dokter gigi dan Wallahu’alam bissawab dia memiliki bakat cenayang juga, kadang aku suka meledeknya jangan-jangan ini efek sampingan dari jimat getah kayu dari Suku Kubu tersebut, hehehe…. Just kidding!
*Dalam melengkapi data tulisan ini, aku mengambil sebagian informasi dari Wikipedia dan foto-foto dari
panoramio.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar