Jumat, 02 Desember 2011

Test Download

Allah juga merekam tindakan kita lewat alam. Sayangilah alam seperti kau sayangi dirimu. Silakan download disini!

Rabu, 30 November 2011

Suku Kubu
 
Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatera, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang. Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya. Suku Kubu di Jambi pada umumnya bermukim di daerah pedesaan dengan pola yang mengelompok.
Pemukiman penduduk suku Kubu

[Kisah Anda] Priyo Tumbang oleh Malaria

Teks dan Foto oleh Ruli Amrullah
Tik. Tombol komputer saya tekan. Ketika secangkir kopi tubruk saya aduk sambil menunggu komputer siap dioperasikan, telepon genggam yang saya gantung di lantai bawah berdering. Teman saya Agung berbicara di seberang sana. “Sudah dikabari oleh Koko?” ia bertanya. Belum. “Priyo meninggal!” serunya. “Inalillahi wa innalillahirojiun!”
Priyo Uji Sukmawan, seorang teman yang bekerja pada Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Jambi, telah dipanggil Sang Ilahi. Lelaki berusia 25 tahun tersebut telah memandu saya, Agung, dan beberapa teman lainnya ketika kami mengunjungi Suku Anak Dalam di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Jambi. Ia meninggal karena malaria.
Modem internet saya aktifkan, profil Facebook milik almarhum Priyo saya buka. Mata saya tertuju ke foto profilnya yang sedang menatap lautan luas. Teringatlah bahwa saya masih punya utang foto kepadanya. Salah satu potretnya yang sedang mengajarkan baca, tulis, dan berhitung kepada anak-anak Orang Rimba saya ikut sertakan dalam beberapa lomba foto bertema pendidikan yang sedang digelar pada bulan itu–salah satunya diadakan oleh NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA. Lalu foto itu saya tandai (tag) ke akun Facebook Priyo untuk membayar utang saya. Ucapan dan doa saya sertakan di keterangan foto itu.
Walau foto itu belum “berjodoh” untuk menang, pengalaman dengan Priyo akan selalu saya kenang. Masih segar di dalam ingatan ketika kami bersama-sama menembus belantara yang mulai disentuh pembalakan liar itu, menanjak serta menuruni perbukitan taman nasional. Sambil berjalan, waktu itu ia menjelaskan banyak hal. Mulai dari pohon-pohon yang dikeramatkan oleh Suku Anak Dalam, arti simbol yang ditorehkan di batang pohon itu, adat dan budaya Suku Anak Dalam, sampai aktivitasnya di tengah hutan Pulau Sumatra yang sekaligus tempatnya sebagai staf pendidikan alias guru bagi bocah-bocah di sana.
Di kala malam, dengan sabarnya Priyo menemani tiga anak; Besiar, Bedingen, dan Beteguh yang masih semangat untuk belajar. Kegiatan mereka hanya diterangi oleh cahaya lilin serta dibantu sinar lampu senter.
Di kelompok Suku Anak Dalam yang saya singgahi ini, cawat–celana khas kaum pria berupa kain panjang yang digulung lalu dililitkan di pinggang dan selangkangan–mulai ditinggalkan. Karena sering berjumpa dengan orang-orang dari luar, juga karena malu, mereka sudah mengenakan baju dan celana seperti yang dipakai di kota-kota. Priyo pun tak perlu memakai cawat untuk beradaptasi serta mendekati mereka. Ia juga menjadi dan-pur (komandan dapur), memasak makanan tim kami. Menu spesial sewaktu kami ada di belantara itu ialah sate dari daging rusa hasil buruan Orang Rimba.
Bagi saya, Priyo adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang telah mempersembahkan nyawanya di medan tempur ini, hutan rimba yang mulai dikepung oleh perkebunan kelapa sawit berskala besar.
Ces! Monitor komputer saya menjadi gelap, padahal bukan waktunya PLN memberikan jatah pemadaman di sini. Di luar, langit pun menangis semakin deras membasahi Bumi Sriwijaya yang sejak beberapa jam sebelumnya dipenuhi awan-awan hitam.

Jalur menanjak, salah satu rute dinas Priyo.

Priyo membantu membagikan bantuan pangan.

Suasana belajar pada malam hari saat ditemani oleh Agung.

Semangat belajar.

Sang guru menerangi muridnya.


memasak makan malam.

Beteguh dan Besiar mengikuti Priyo membersihkan muka.

Jepretan terakhir saya pada Priyo, saat keluar hutan.
Yayasan Setara Gelar Konsultasi Publik Sejarah SAD Batin 9
 
Tribun Jambi - Jumat, 19 Agustus 2011 17:13 WIB
|
27072011_SAD.jpg
tribun jambi/jariyanto
Anak-anak dari SAD yang sedang belajar di PAUD
Laporan Wartawan Tribun Jambi, ahyu Jati Kusuma

JAMBI, TRIBUNJAMBI.COM - Yayasan Setara menggelar konsultasi publik dengan tema "Sejarah Asal-Usul Suku Anak Dalam Batin 9 Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam", yang merupakan sebuah laporan penelitian yang ditulis oleh Rian Hidayat di Hotel Golden Harvest, Jumat (19/8/2011) sore.

Dalam kesempatan itu, Rian memaparkan secara singkat hasil tulisannya. Menurutnya, di Jambi, selain orang Rimba, ada juga kelompok masyarakat asli yang menyebut dirinya sebagai orang dalam atau Suku Anak Dalam (SAD) Batin 9.

Menurutnya, SAD Batin 9 belum diketahui oleh banyak kalangan sehingga sering dianggap sebagai orang rimba atau suku kubu. Padahal ada perbedaan antara SAD Batin 9 dengan orang rimba.

Batin 9 mengandung pengertian sebagai sembilan anak sungai (Bulian, Bahar, Jebak, Jangga, pemusiran, Burung Antu, Telisak, Sekamis, Singoan), dimana masing-masing sungai dikuasai oleh sembilan orang bersaudara yang mereka yakini sebagai nenek moyang mereka.(*)

Penulis : wahyu
Editor : fifi


Asal usul Suku Anak Dalam sering juga disebut dengan orang rimba atau Suku Kubu merupakan salah satu suku asli yang ada di Provinsi Jambi. Suku Anak Dalam dalam hidup berpindah-pindah. Dikawasan hutan secara berkelompok dan menyebar di beberapa Kabupaten, seperti di Kabupaten Batang hari, Tebo, Bungo, Sarolangun dan Merangin.
Sejumlah ahli antropolog berpandangan bahwa Suku Anak Dalam termasuk kategori protom Melayu (Melayu Tua) dari beberapa hasil kajian yang dilakukan, menggambarkan bahwa kebudayaan Suku Anak Dalam yang ada di Provinsi Jambi memiliki kesamaan dengan suku melayulainnya, seperti bahasa, kesenian dan nilai-nilai tradisi lainnya . Salah satu contoh adalah bentuk pelaksanaan upacara besale ( upacara pengobatan ) pada masyarakat anak dalam hampir sama dengan bentuk upacara aseik (upacara pengobatan) pada masyarakat Kerinci yang juga tergolong sebagai protom melayu.
Di samping itu ada juga yang beranggapan bahwa Suku Anak Dalam adalah kelompok masyarakat terasing berasal dari kerajaan Pagaruyung. Mereka mengungsi kedalam hutan karena mendapat serangan dan tidak mau dikuasai serta diperintah oleh musuh.
Di dalam hutan mereka membuat pertahanan. Pendapat ini didasari dengan istilah yang digunakan dalam penyebutan Suku Anak Dalam sebagai orangkubu (Kubu bermakna pertahanan).
Suku Anak Dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya diatur dengan aturan, norma dan adat istiadat yang berlaku sesuai dengan budayanya. Dalam lingkungan kehidupannya dikenal istilah kelompok keluarga dan kekerabatan, seperti keluarga kecil dan keluarga besar. Keluarga kecil terdiri dari suami istri dan anak yang belum menikah.
Keluarga besar terdiri dari beberapa keluarga kecil yang berasal dari pihak kerabat istri. Anak laki-laki yang sudah kawin harus bertempat tinggal dilingkungan kerabat istrinya. Mereka merupakan satu kesatuan sosial dan tinggal dalam satu lingkungan pekarangan. Setiap keluarga kecil tinggal dipondok masing-masing secara berdekatan, yaitu sekitar dua atau tiga pondok dalam satu kelompok.
1 Norma Kehidupan
Apa yang bakal terjadi bila manusia hidup atas dasar hukum rimba?. Yang kuat akan memakan yang lemah. Yang besar akan menindas yang kecil. Yang pintar akan menipu yang bodoh. Kehidupan akan segera menjadi neraka. Manusia mungkin akan segera musnah. Nenek moyang orang Minang, nampaknya sejak beribu tahun yang lalu telah memahami bahaya ini bagi hidup dan kehidupannya, apalagi bagi kelangsungan anak dan cucunya. Karena itu mereka telah menciptakan norma-norma kehidupan yang akan menjamin ketertiban-kesejahteraan dan kebahagiaan hidup bagi mereka sendiri dan anak cucunya sepanjang zaman. Norma-norma itu antara lain berupa aturan-aturan yang sangat esensial bagi kehidupan yang tertib aman dan damai.
Aturan-aturan itu antara lain mengatur hubungan antara wanita dan pria, aturan mengenai harta kekayaan, yang menjadi tumpuan kehidupan manusia, norma-norma tentang tata krama pergaulan dan sistim kekerabatan. Kalau dipelajari dengan seksama, ketentuan adat Minang mengenai hal-hal diatas, agaknya tidak ada seorangpun diantara kita yang tidak kagum dan bangga dengan aturan itu. Kalau kita tahu manfaat dari aturan-aturan itu, agaknya tidak seorangpun diantara kita yang mengingini lenyapnya aturan itu. Namun sayangnya banyak juga diantara kita yang kurang memahami aturan-aturan adat itu sehingga kurang mencintainya. Tak tahu maka tak kenal, tak kenal maka tak cinta. Kebanyakan kita dewasa ini memang sudah banyak yang melupakan norma-norma kehidupan yang terkandung dalam ajaran adat Minang. (Sumber : Adat Minangkabau, Pola & Tujuan Hidup Orang Minang)

Sidang Suku Anak Dalam Ricuh


indosiar.com, Jambi - Sidang Suku Anak Dalam di Pengadilan Negeri Sarolangun, Jambi Selasa (24/03/09) kemarin, berubah menjadi kacau. Puluhan keluarga terdakwa melempari polisi dengan batu dan kayu, mereka tidak terima karena kasus kerusuhan antar Suku Anak Dalam yang disidangkan tersebut sudah diselesaikan secara hukum adat.
Aksi ini dilakukan keluarga terdakwa Temenggung Jelitai dan Mata Gunung, kesemuanya para Suku Anak Dalam di halaman Pengadilan Negeri Sarolangun.
Mereka tidak terima terdakwa Jelitai dan Mata Gunung ditahan, sebab mereka beranggapan kasus bentrokan dengan kelompok Suku Anak Dalam Batanghari yang menewaskan 3 warga telah diselesaikan secara hukum adat.
Meski dilerai warga Suku Anak Dalam lainnya, istri dan keluarga kedua terdakwa emosi dan mengejar mobil petugas yang membawa kedua terdakwa ke Lapas Bangko. Akibat kericuhan ini agenda pembacaan pledoi oleh kedua terdakwa terpaksa dibatalkan sampai batas waktu yang belum ditentukan. (Nur Rasdi Chaniago/Sup)